Indonesia, Filipina dan Malaysia Sepakat Perangi Militan di Tengah Pengepungan Marawi

Philippines, Neighbors to Jointly Fight Militants Amid Siege

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Indonesia, Filipina dan Malaysia Sepakat Perangi Militan di Tengah Pengepungan Marawi
Dari kiri Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Dirjen Malaysia Zulkifeli Mohd Zin, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menlu Filipina Alan Peter Cayetano, Menlu RI Retno Marsudi, Menlu Malaysia Anifah Haji Aman (Foto: MailOnline)

FILIPINA, Indonesia dan Malaysia pada Kamis sepakat untuk bekerja sama untuk menghentikan aksi militan, pengiriman senjata, transfer dana, dan propaganda ekstrimis melintasi perbatasan ketiga negara, setelah menyatakan kekhawatiran atas serangan baru-baru ini di wilayah tersebut termasuk pengepungan satu bulan di sebuah kota di Filipina selatan.

Menteri Luar Negeri Alan Peter Cayetano dan koleganya dari Indonesia dan Malaysia bertemu di Manila dengan pejabat tinggi keamanan untuk membahas rencana aksi bersama di tengah pengepungan kota Marawi oleh militan ISIS yang menyatakan setia dengan kelompok Negara Islam (ISIS) yang telah menewaskan sedikitnya 369 pejuang dan warga sipil yang tewas.

Setelah ISIS kehilangan wilayah di Suriah dan Irak, pemerintah-pemerintah Asia Tenggara khawatir bahwa simpatisan di Asia yang menghebohkan, termasuk orang-orang dari Indonesia dan Malaysia, dapat kembali memanfaatkan keterbukaan sosial, penegakan hukum yang lemah, seluk beluk senjata ilegal dan pemberontakan untuk mengembangkan kekuasaan di wilayah ini.

Banyak yang khawatir pengepungan Marawi bisa menarik jihadis kembali ke kawasan ini.

"Kami perkirakan bahwa mereka yang akan mengungsi akan pergi ke Asia dan karena pemberontakan Marawi, Filipina jadi seperti magnet," kata Kepala Staf Militer Filipina Jenderal Eduardo Ano, yang ikut dalam konferensi keamanan tersebut.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengutuk serangan di Marawi dan mengatakan bahwa Indonesia siap untuk membantu Filipina.

"Tantangan Anda adalah tantangan Indonesia dan tantangan Anda juga merupakan tantangan kawasan ini," katanya, menambahkan bahwa ancaman terorisme sudah dekat dan bahwa "tidak ada tindakan yang tidak menjadi pilihan."

Menlu Malaysia, Anifah Aman, mengatakan sekarang lebih sulit bagi pemerintah untuk memerangi militan, yang bersedia untuk mati dan memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menyebarkan pesan mereka lebih cepat dan merekrut pengikut di seluruh dunia.

"Termotivasi oleh ideologi yang menyimpang, teroris hari ini menyambut baik kematian untuk orang lain dan juga untuk diri mereka sendiri," kata Anifah.

Cayetano mengatakan ketiga negara sepakat untuk memanfaatkan kekuatan militer dalam menangani ekstremis yang berkembang di tengah kondisi sosial yang suram. "Kami mencatat bahwa obat-obatan, kejahatan, kemiskinan, ketidakadilan memainkan peran besar dalam meningkatkan jumlah pengikut melalui rekrutmen atau untuk radikalisasi, terutama dari kalangan muda," kata Cayetano.

Dalam sebuah pernyataan bersama, ketiga pemerintah tersebut menyatakan "keprihatinan atas insiden terorisme dan ekstremisme baru-baru ini di negara mereka" dan mengatakan bahwa mereka akan merencanakan strategi bersama untuk memerangi mereka.

Mereka berjanji untuk meningkatkan pertukaran informasi intelijen terhadap ancaman potensial, menghentikan gerak militan, dana dan senjata, dan  penyebaran propaganda di media sosial.

Negara-negara tersebut juga akan membahas bagaimana bekerja sama dalam meningkatkan pelatihan militer dan penegakan hukum dan saling membantu mempromosikan toleransi dan agama yang moderat, dalam pernyataan bersama.

"Yang penting adalah bantuan para pemimpin agama agar kita bisa membawa mereka kembali ke pikiran moderat, arus utama Islam," kata Ano.

Para menteri luar negeri Asia Tenggara akan bertemu akhir tahun ini untuk membahas meningkatnya radikalisasi dan ekstremisme kekerasan.

Pada 23 Mei, sekitar 500 gerilyawan, termasuk beberapa orang Indonesia, Malaysia dan orang asing lainnya, menyerbu distrik bisnis Marawi, pusat populasi Islam di selatan Filipina yang sebagian besar beragama Katolik Roma, membawa seorang pastor dan sandera lainnya, menduduki bangunan dan memasang bendera hitam ISIS.

Dari 276 militan yang terbunuh, setidaknya tiga orang adalah warga Malaysia dan satu lagi dari Indonesia, kata Ano. Dia mengatakan, penangkapan di Malaysia pekan lalu dari beberapa militan yang dicurigai terikat pada Marawi menggambarkan kerja sama lintas batas yang diperlukan untuk melindungi wilayah tersebut seperti dikutip Associated Press yang dilansir MailOnline.

THE PHILIPPINES, Indonesia and Malaysia agreed Thursday to closely cooperate to halt the flow of militants, weapons, funds and extremist propaganda across their borders, as they expressed alarm over recent attacks in the region including a monthlong siege of a southern Philippine city.

Foreign Secretary Alan Peter Cayetano and his Indonesian and Malaysian counterparts met in Manila with top security officials to discuss a joint plan of action amid the siege of Marawi city by militants aligned with the Islamic State group that has left at least 369 combatants and civilians dead.

As the Islamic State group loses territory in Syria and Iraq, Southeast Asian governments worry that battle-hardened Asian fighters, including ones from Indonesia and Malaysia, may return to exploit social restiveness, weak law enforcement, a surfeit of illegal arms and raging insurgencies to establish a foothold in the region.

Many worry that the siege in Marawi could draw in the returning jihadis.

"We expect that those who will be displaced there will go to Asia and because of the Marawi uprising, the Philippines is like a magnet," said Philippine military chief of staff Gen. Eduardo Ano, who took part in the security conference.

Indonesian Foreign Minister Retno Marsudi condemned the attack in Marawi and said her government is ready to help.

"Your challenges are Indonesia's challenges and your challenges are also the challenges of the region," she said, adding that the threat of terrorism is imminent and that "no action is not an option."

Malaysia's top diplomat, Anifah Aman, said it's more difficult now for governments to fight militants, who are willing to die and are harnessing technology and social media to spread their messages faster and recruit followers across the world.

"Motivated by a perverse ideology, terrorists today welcome death for others and also for themselves," Anifah said.

Cayetano said the three countries agreed to go beyond a military solution in dealing with extremists who breed in dismal social conditions. "We take note that drugs, crime, poverty, injustice play a big role in making the ground fertile for recruitment or for radicalizing, especially young people," Cayetano said.

In a joint statement, the three governments expressed "concern over the recent incidents of terrorism and violent extremism in their countries" and said they would plan strategies together to combat them.

They pledged to improve intelligence-sharing about potential threats, stop the flow of militants, funds and weapons, and contain the spread of propaganda on social media.

The countries will also discuss how to cooperate in enhancing military and law enforcement training and help each other promote religious tolerance and moderation, the statement said.

"What is important is the help of religious leaders so we can bring them back to moderate, mainstream Islam," Ano said.

Southeast Asian foreign ministers will meet later this year to discuss rising radicalization and violent extremism.

On May 23, about 500 militants, including several Indonesian, Malaysian and other foreigners, stormed the business district of Marawi, a lakeside center of the Islamic faith in the south of the largely Roman Catholic Philippines, taking a priest and others hostage, occupying buildings and installing Islamic State-style black flags.

Of the 276 militants who have been killed, at least three were Malaysians and one came from Indonesia, Ano said. He said the arrest in Malaysia last week of some militants suspected to be bound for Marawi illustrated the kind of cross-border cooperation needed to protect the region.