JK Harapkan Indonesia Kurangi Ketergantungan Impor `Smartphone`

Indonesian VP Calls for Reducing Dependency on Imported Smartphones

Reporter : Gatot Priyantono
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


JK Harapkan Indonesia Kurangi Ketergantungan Impor `Smartphone`
Foto: MailOnline

Jakarta (B2B) - Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor smartphone, dengan mendorong tumbuhnya industri perangkat teknologi telekomunikasi nirkabel di dalam negeri disertai pemberian sejumlah insentif.

"Tentu kita ingin mengurangi produk impor, tapi perlu memperbaiki kualitas dan harganya agar bersaing," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada pers di Batam, Kepulauan Riau, belum lama ini ketika meninjau pabrik smartphone PT SAT Nusapersada Tbk didampingi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara serta Gubernur Kepri Muhammad Sani.

Dikatakan Wapres, sebenarnya alat elektronik atau apapun bisa dibuat di dalam negeri, sehingga diperlukan promosi besar-besaran dan menggandeng operator telepon untuk memperkenalkan produk lokal.

"Promosi perlu dilakukan sebagai upaya memperkenalkan bahwa Indonesia sudah bisa memproduksi sendiri," ujarnya.

Untuk mendukung kemajuan industri tersebut, Wapres akan minta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Perindustrian untuk membantu mengembangkan industri tersebut.

Mengenai industri pendukung, wapres mengatakan tak perlu dikhawatirkan.

"Biasanya tumbuhnya itu otomatis, kalau tumbuh industri, pendukungnya akan tumbuh juga," ucap Kalla.

Wapres menilai perangkat telekomunikasi smartphone telah menjadi kebutuhan hidup setiap orang, termasuk bagi penduduk Indonesia yang saat ini berkisar 250 juta orang sehingga kebutuhan perangkat telekomunikasi pun sangat tinggi.

Data dari KSO Sucofindo Suveyor Indonesia menunjukkan impor telepon seluler (ponsel) ke Indonesia pada 2013 mencapai 58 juta unit atau senilai US$2,6 miliar. Diperkirakan impor pada 2014 mencapai 60 juta unit atau senilai US$3,4 miliar.

Hal ini membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara paling konsumtif di antara negara lain se-Asia Tenggara berdasarkan lembaga riset Gfk Asia.

Regulasi untuk menjadikan Indonesia menjadi negara produksi sebenarnya telah ada, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No 7/2009 yang mewajibkan Tingkat Kadungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30% untuk semua perangkat telekomunikasi 4G LTE yang menggunakan frekuensi 2,3 Ghz dan 3,3 Ghz. Namun, ke depannya peraturan ini akan diubah sehingga semua perangkat telekomunikasi 4G LTE wajib TKDN, bukan pada frekuensi tertentu saja.

Kemudian, Peraturan Menteri Perdagangan No. 82 Tahun 2012 berserta perubahannya yang mewajibkan importir ponsel untuk mendirikan pabrik ponsel di Indonesia, serta Peraturan Menteri Perindustrian No. 108 Tahun 2012 yang mewajib melakukan pendaftaran setiap ponsel impor agar dapat menekan kuota impor ponsel ke Indonesia.

Tetapi jika semua peraturan tersebut tidak ditegakkan dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, maka peraturan tersebut akan menjadi kenangan saja dan Indonesia akan tetap menjadi negara konsumsi, bukan negara produksi.

Jika semua ponsel impor diproduksi dalam negeri, maka diperkirakan negara akan berpotensi menerima pajak pertahun sekitar Rp180 miliar dan menciptakan 30.000 lapangan kerja.

Hal ini belum termasuk pertumbuhan perusahaan pendukung lainnya, seperti pembuat komponen, disainn, serta distributor. (Ant)

Jakarta (B2B) - The Indonesian Vice President Jusuf Kalla has called for reducing dependency on imported smartphones and stressed on boosting the domestic smartphone industry with incentives.

"We certainly wish to reduce imported products, but we need to improve the quality (of domestic products) and also offer competitive prices," Mr Kalla told to the press after visited smartphone manufacturer in Batam island, Riau Island province recently. He was accompanied by Minister of Communications and Informatics Rudiantara and Riau Islands Governor Muhammad Sani.

Mr Kalla added, any electronic device can be made at home, so what is needed is large-scale promotional efforts and cooperation with local telephone operators to introduce local products.

"Promotional efforts must be made to tell people that Indonesia is capable of manufacturing electronic products," he added.

The Vice-President remarked he will ask the Indonesian Communications and Informatics Ministry and the ministry of industry to help develop the smartphone manufacturing industry in the country.

Kalla allayed any doubt about supporting industries. "Usually, they automatically grow with the main industry," he added.

He pointed out that smartphones have become a need, including for the 250 million people of Indonesia. So, demand for the device is very high.

According to data from KSO Sucofindo, an Indonesian survey organization, cellphone imports in 2013 reached 58 million units worth US$2.6 billion. In 2014, the imports were estimated to reach 60 million units worth US$3.4 billion.

This has made Indonesia the most consumptive country in Southeast Asia, according to GFK Asia Research Institute.

According to Communications and Informatics Ministerial Regulation Number 7 of 2009, aimed at making Indonesia a producer country, all 4G LTE telecommunication equipment with 2.3 Ghz and 3.3 Ghz frequencies must utilize up to 30 percent locally-made contents. In the future, the regulation will be changed so that all 4G LTE telecommunication equipment, irrespective of their frequencies, will have to have 30 percent locally-made components.

Meanwhile, Trade Ministerial Regulation Number 82 of 2012 with all its amendments requires cellphone importers to set up a plant in Indonesia.

Industry Ministerial Regulation Number 108 of 2012 mandates the registration of every imported cellphone to reduce import quota. All of the regulations need to be enforced and implemented so that Indonesia will not just remain a consumer but will also become a producer.

If cellphone products are produced at home, they will have the potential to contribute around Rp180 billion in tax revenue to the country and create 10,000 jobs in addition to the growth of supporting plants to produce components or designs, including distributors, he added.