Upacara Yadnya Kasada di Gunung Bromo Pukau Dunia
Striking Images Show Indonesian Villagers Throw Offerings to the Gods
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
RATUSAN warga Bromo Indonesia yang menganut Hindu Tengger di Gunung Bromo setiap tahun menggelar upacara keagamaan, Yadnya Kasada kerap berlangsung selam satu bulan dan pada hari ke-14 warga Tengger memberikan sesajen kepada para dewa.
Sesajen tersebut berupa hewan ternak, sayur-sayuran, buah, uang dan barang berharga lainnya dilemparkan ke kawah gunung berapi yang masih aktif pada Kamis (21/7).
Upacara dimulai pada abad ke-15 ketika putri raja meminta kepada para dewa yang berada di gunung tersebut untuk memberinya anak, dan dikabulkan dewa dengan memberi 24 anak.
Sang putri kemudian mendapat titah dari para dewa bahwa anak terakhirnya, nomor 25, harus dipersembahkan sebagai persembahan kepada dewa dan dibuang ke dalam gunung berapi.
Meskipun pengorbanan manusia sudah tidak lagi ada, warga Tengger menggantinya dengan sesajen untuk mendapat berkah dari para dewa khususnya melimpahnya hasil pertanian.
Gumpalan asap tebal berwarna kelabu dari sisa-sisa letusan dari Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur, menjadi pertanda bagi warga Tengger mempersiapkan upacara Yadnya Kasada, yang digelar setiap tahun.
Ratusan orang berbekal jaring bertongkat menuju kawah gunung berapi aktif untuk menunjukkan rasa terima kasih mereka kepada para dewa atas hasil panen yang baik dan berkah yang akan mereka terima untuk tahun ini.
Warga Hindu berpartisipasi dalam upacara keagamaan yang berlangsung sejak abad ke-15 untuk mempersembahkan sesaji berupa sayuran, buah-buahan, kambing, ayam, uang dan barang berharga lainnya selama upacara yang berlangsung satu bulan.
Foto-foto mencengangkan memperlihatkan warga Tengger di Probolinggo menaiki gunung berapi aktif setinggi 2.329 meter untuk mencapai tepi kawah.
Upacara ini diadakan pada hari ke-14 dari upacara keagamaan Hindu dan diyakini berasal ketika seorang putri bernama Roro Anteng dan suaminya Joko Seger meminta bantuan dari para dewa.
Pasangan itu tidak memiliki anak dan meminta para dewa untuk memberi mereka anak, ketika mereka dilimpahi 24 anak tetapi mengatakan bahwa anak ke-25 harus dilemparkan ke dalam gunung berapi sebagai tumbal.
Sementara korban manusia tidak lagi digunakan, tradisi memberikan tumbal masih berlangsung hingga kini untuk persembahan kepada para dewa dalam ritual yang dikenal sebagai upacara Yadnya Kasada.
Berkah dari dewa Gunung Bromo, Hyang Widi Wasa dan Mahadewa, dewa gunung memastikan orang-orang Tengger akan dilimpahi keberuntungan selama upacara berlangsung.
Upacara ini hanya salah satu dari banyak tempat wisata yang luar biasa yang bisa disaksikan di gunung berapi aktif.
Gunung Bromo terkenal karena matahari terbit yang spektakuler dan megah dilihat semua jalan menuju gunung berapi Semeru terletak jauh di belakangnya.
Foto menakjubkan dari kepulan asap merah di atas dataran tinggi yang ditutupi awan tampak seperti terjadi pada lanskap di dunia lain terekam pada 2013.
Fotografer Helminadia Jabur, 36, mengatakan: "Sejak saya melihat beberapa foto dari gunung berapi, saya tidak mampu bisa menahan diri untuk mengunjungi Bromo dan merekam momen luar biasa tersebut."
Gunung Bromo berada di atas dataran tinggi yang dinamai Lautan Pasir Sand dan merupakan puncak tertinggi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Kawasan tersebut dikembangkan sebagai taman nasional pada 1919 dan banyak wisatawan berkunjung dan membutuhkan waktu sekitar 45 menit menuju gunung berapi - atau menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil jip untuk berwisata, seperti dilansir MailOnline.
HUNDREDS of Indonesian people known as the Tengger Hindus scale Mount Bromo annually for a religious festival.
The Yadnya Kasada Festival often lasts a month and on the 14th day the Tengger people throw offerings to the gods.
Livestock, vegetables, fruit, money and other valuables are hurled into the centre of the active volcano on July 21.
The ceremony started in the 15th century when a princess asked the mountain gods for children and was granted 24.
She was told that her last child, number 25, was to be offered as a sacrifice and thrown into the volcano.
Although human sacrifices no longer exist the Tengger people throw offerings for good fortune and a good harvest.
A plume of thick grey smoke erupting from Mount Bromo in Probolinggo, East Java, Indonesia is a sign for the Tengger people to ready themselves for the annual Yadnya Kasada Festival.
Hundreds of Indonesians armed with nets trek into the heart of the live volcanic crater to show their gratitude to the gods for a good harvest and fortune to be bestowed upon them for the year.
Tengger Hindus have participated in the ceremony dating back as early as the 15th century throwing a range of offerings which include vegetables, fruits, goats, chickens, money and other valuables during the festival which lasts a month.
Magnificent pictures show the Tenggerese people of Probolinggo scale 2,329 metre high live volcano, before entering the edge of the large crater.
The ceremony is held on the 14th day of the Hindu festival and is believed to have originated when a princess named Roro Anteng and her husband Joko Seger called on the assistance of the gods.
The couple had been childless and asked the gods for children, when they were granted 24 children but told that the 25th child must be thrown into the volcano as human sacrifice.
While human sacrifices are no longer used, the tradition of throwing offerings still exists to appease the deities in ritual known as Yadnya Kasada ceremony.
Blessings from the deity of Mount Bromo, Hyang Widi Wasa and Mahadeva, the god of the mountain ensure the Tengger people will be presented good fortunes as long as the ceremony continues.
The ceremony is only one of the many extraordinary sights that can be witnessed on the active volcano.
Mount Bromo is noted for its spectacular sunrises and majestic views all the way to the Semeru Volcano located further behind it.
Brilliant pictures of billowing red smoke over the blanched plain were captured in the otherworldly landscape in 2013.
Photographer Helminadia Jabur, 36, said: 'Ever since I saw some images of the volcano, I just could not help myself to visit the area and capture it.'
Mount Bromo sits above the plain named The Sea of Sand and is the highest peak in the Bromo Tengger Semeru National Park.
The area was made a national park in 1919 and many tourists now take the traditional 45 minute walk up the volcano - or use the more modern method of a jeep to tour the area.