Pejabat AS Ingatkan TNI AL, Modus China Manfaatkan Kapal Ikan Perluas Klaim Maritim

China Using Fishing Fleets to Expand Maritime Claims: US Official

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Pejabat AS Ingatkan TNI AL, Modus China Manfaatkan Kapal Ikan Perluas Klaim Maritim
Kapal perang KRI Imam Bonjol-363 menangkap kapal penangkap ikan China di perairan Natuna pada 21 Juni 2016 (Foto2: MailOnline)

CHINA memanfaatkan kapal-kapal penangkap ikan dengan pengawalan bersenjata untuk mendukung klaim maritim di wilayah sengketa, kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS pada Rabu, yang memperingatkan bahwa China sangat "mengganggu".

Pendapat itu muncul setelah kapal perang Indonesia dari TNI AL menembakkan tembakan peringatan dan menahan perahu nelayan berbendera China berikut tujuh nelayan dekat Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan pekan lalu, sehingga memicu kecaman keras dari Beijing.

"Saya pikir modus itu sangat mengganggu atas kecenderungan untuk menyaksikan kapal nelayan China dikawal oleh kapal penjaga pantai, yang digunakan dengan cara yang tampaknya merupakan modus untuk mengerahkan klaim wilayah perairan yang tidak sah," kata pejabat AS melalui konferensi jarak jauh dengan para jurnalis di Asia Tenggara.

"Saya berpikir bahwa itu menunjuk ke sebuah modus untuk memperluas perairan China - semacam upaya militer dan menunjukkan kekuatan paramiliter - dan dilakukan dengan cara yang provokatif dan berpotensi menganggu stabilitas wilayah," kata pejabat AS, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.

Tidak seperti beberapa negara lain di kawasan tersebut, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan China untuk pulau atau karang di laut, tapi klaim Beijing untuk hak-hak nelayan dekat Natuna tampaknya tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Insiden pekan lalu itu merupakan peristiwa terkini dalam serangkaian konflik antara kedua negara sejak Indonesia melancarkan tindakan keras terhadap penangkapan ikan ilegal pada 2014.

Pada Maret penjaga pantai China menabrak kapal nelayan China yang ditahan di dekat Natuna dan membantunya melarikan diri ketika kapal perang Indonesia berupaya menarik kapal ke pantai.

Dan bulan lalu, TNI AL menembaki sebuah kapal pukat China di dekat kawasan tersebut dan menahan kapal.

Menyusul konfrontasi pekan lalu, Panglima Armada Barat TNI AL mengatakan sejumlah kapal penangkap ikan dalam posisi berjajar atau "terstruktur", yang mengindikasikan Beijing telah "memberikan restu".

"China protes karena menganggap kawasan perairan tersebut adalah milik mereka," kata Panglima Armada Barat TNI AL, Laksamana Muda Achmad Taufiqoerrochman kepada pers seperti dikutip AFP yang dilansir MailOnline.

"Sebenarnya kapal (ikan) hanya tipu muslihat untuk mengajukan klaim," katanya.

Cina telah melakukan kegiatan reklamasi di Kepulauan Spratly, salah satu kepulauan utama di Laut China Selatan yang juga diklaim oleh Filipina, Brunei, Vietnam, Malaysia dan Taiwan.

Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan Washington berharap penundaan putusan oleh pengadilan yang didukung PBB pada hak maritim Laut Cina Selatan akan mendorong upaya saling klaim dibahas di meja perundingan.

Kasus ini diajukan oleh Filipina melawan China pada 2013 untuk menantang klaim Beijing dengan mengajukan peta "garis sembilan-dash" dalam upaya China menguasai hampir seluruh perairan strategis dan konon kaya sumber alam.

"Ini adalah kepentingan China untuk tidak mengambil tindakan apapun yang provokatif dan langsung bertentangan dengan keputusan itu," kata pejabat AS.

CHINA IS USING its fishing fleets with armed escorts to bolster maritime claims in disputed territory, a senior US State Department official warned Wednesday, calling China's behaviour "disturbing".

The comments came after Indonesian warships fired warning shots and detained a Chinese-flagged fishing boat and seven crew near the Natuna Islands in the South China Sea last week, in actions slammed by Beijing.

"I think it's a disturbing trend to see Chinese fishing vessels accompanied by coast guard vessels, used in a way that appears to be an attempt to exert a claim that may not be legitimate," said the US official via conference call to journalists in Southeast Asia.

"I do think that it does point to an expanding presence of Chinese -- sort of military and paramilitary forces -- and used in a way that is provocative and potentially destabilising," the US official, who asked not to be named, added.

Unlike several other countries in the region, Indonesia has no overlapping claims with China to islets or reefs in the sea, but Beijing's claim to fishing rights near the Natunas appears to overlap with Jakarta's exclusive economic zone.

Last week's incident was only the latest in a series of skirmishes between the two countries since Jakarta launched a crackdown on illegal fishing in 2014.

In March Chinese coastguards rammed a Chinese boat detained near the Natunas and helped it escape as the Indonesians towed the vessel to shore.

And last month, the Indonesian navy opened fire on a Chinese trawler near the islands and seized the vessel.

Following last week's confrontation, the commander of the Indonesian navy's western fleet said the fishing vessel incursions were "structured", indicating Beijing had "given its blessing".

"China protested because it thinks this area is theirs," commander Achmad Taufiqoerrochman told reporters.

"Actually the (fish) stealing is just a ruse to stake its claim," he said.

China has undertaken land-reclamation works in the Spratly Islands, one of the South China Sea's main archipelagoes which are also claimed by the Philippines, Brunei, Vietnam, Malaysia and Taiwan.

The US State Department official said Washington hoped a pending ruling by a United Nations-backed tribunal on South China Sea maritime entitlements will push rival claimants into talks.

The case was lodged by the Philippines against China in 2013 to challenge Beijing's "nine-dash line" map through which it claims to control nearly all of the strategic and reputedly resources-rich waters.

"It is in China's interest not to take any action that would be provocative and directly in contradiction to the ruling," the US official said.