Kalah dari Islandia, Pendukung Caci Maki Pemain Timnas Inggris

England Dumped Out of Euro 2016 by Minnows Iceland - a Country the Size of Leicester

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Kalah dari Islandia, Pendukung Caci Maki Pemain Timnas Inggris
Tim nasional Inggris kalah memalukan dari ´tim kecil´ Islandia 1-2 di babak 16 besar Piala Eropa, sekaligus gagal lolos ke babak perempat final (Foto2: MailOnline)

BANYAK orang di Inggris mencoba untuk memutar kembali jarum jam selama beberapa hari terakhir - dan Roy Hodgson berhasil mendapatkan itu semua pada kenangan Belo Horizonte pada 1950.

Bukan sejak Piala Dunia, 66 tahun yang lalu, ketika Inggris harus menerima penghinaan yang luar biasa memilukan. Bukan ketika Inggris pertama kali mengikuti kompetisi internasional, ketika seluruh negeri harus menerima penghinaan dalam cabang olahraga yang menjadi permainan nasional. Dipukuli oleh Islandia - bangsa dengan populasi ukuran Leicester. Dipermalukan oleh Islandia - tim yang dilatih oleh pelatih paruh waktu, dan budaya sepakbola paruh waktu. Dipukuli oleh Islandia - tim yang belum pernah memainkan permainan knock-out di turnamen sebelumnya.

Bagi Hodgson, ini adalah akhir yang sangat pahit dan ia harus meninggalkan kursi pelatih untuk selamanya dalam waktu 20 menit setelah peluit akhir. Para pemain asuhannya mencemooh, secara individu dan kolektif, dan kenangan ini tidak berbeda jauh dengan Piala Dunia 2014.

"Anda tidak pantas mengenakan seragam timnas, kata pendukung Inggris kepada para pemainnya, beberapa pemain berbaring di lapangan, Gary Cahill menangis. Ketika kiper Joe Hart berubah untuk mengakui frustrasi mereka, ia bertemu dengan serangkaian gerakan tangan yang mungkin sebagai upaya untuk menyelamatkan gol kedua Islandia, tapi mungkin tidak.

Waktu dua tahu terbuang sia-sia. Hodgson harus pergi pada 2014, ketika Inggris hanya bermain dua pertandingan di Piala Dunia sebelum tersingkir. Dia bukan sosok yang tepat, begitu pula hari ini. Sama seperti Stuart Lancaster, pelatih rugby Inggris untuk Piala Dunia, banyak disebut tentang kemajuan tim, janji dan budaya yang kuat dari tanggung jawab, tetapi ketika berada di bawah tekanan, semuanya jadi sia-sia.

Di akhir babak kedua, Hodgson memasukkan Marcus Rashford. Dia segera merangsek ke pertahanan Islandia dengan kemampuannya mestinya dia lebih awal masuk lapangan - dia terlihat melakukan pemanasan selama 10 menit. Rashford berada di posisi yang tepat tapi waktunya masuk lapangan tidak tepat.

Pada akhirnya, Hodgson tidak punya pilihan selain mengundurkan diri. Tanda-tanda kemajuan yang menuntut FA hadir di layar ketika bingung dan tidak efektif karena Inggris selalu gagal setiap kali tampil di turnamen besar sampai saat ini. Dikalahkan oleh Amerika Serikat pada 1950, setidaknya ada mitigasi. Itu turnamen pertama mereka, dan di Amerika Selatan. Ini adalah situasi yang berbeda, seperti dilansir MailOnline.

A LOT OF people in England have been trying to turn the clock back over the last few days – and Roy Hodgson managed to get it all the way to Belo Horizonte in 1950.

Not since a distant World Cup, 66 years ago, have England suffered a humiliation as great as this. Not since this country dipped a first tentative toe into the world of international competition, has a result sent such seismic waves through the national game. Beaten by Iceland – a nation with a population the size of Leicester. Beaten by Iceland – a team with a part-time coach, and a part-time football culture. Beaten by Iceland – a team that had never played a knock-out game at a tournament before.

For Hodgson, this was a very bitter end and he was gone for good within 20 minutes of the final whistle. His players were booed, individually and collectively, and there was none of the residue of goodwill felt at the end of the 2014 World Cup.

‘You’re not fit to wear the shirt,’ supporters chanted at players, some lying face down on the pitch, Gary Cahill in tears. When goalkeeper Joe Hart turned to acknowledge their frustration, he was met by a series of hand gestures that may have been imitations of his attempt to save Iceland’s second goal, but probably weren’t.

What a waste the last two years have been. Hodgson should have gone in 2014, when England lasted two matches at the World Cup. He wasn’t the man then, he isn’t the man now. Just like Stuart Lancaster, England’s Rugby World Cup coach, there has been much talk of progress, promise and a strong culture of responsibility, but under pressure, that all evaporated.

Late in the second half, Hodgson introduced Marcus Rashford. He immediately charged at Iceland’s defence with a youthful abandon that may have been more useful if utilised earlier — he seemed to be warming up for 10 minutes. Rashford won a corner and began running towards the mark to take it.

Ultimately, Hodgson had no choice but to resign. The signs of progress that the FA demanded were sadly absent in a display as confused and ineffectual as any England have delivered at a major tournament to date. Beaten by the United States in 1950, there was at least mitigation. It was their first tournament, and in South America. These were unfamiliar circumstances.