Pernikahan Beda Agama? Masalah Apa yang Bakal Muncul

Interfaith Marriage? And its Problems

Editor : Mohamad Aslan
Translator : Intan Permata Sari


Pernikahan Beda Agama? Masalah Apa yang Bakal Muncul

SAYA wanita karier. Bekerja di perusahaan swasta terkemuka. Saya akan segera menikah, tapi terganjal masalah perbedaan agama. Saya mau tanya apa saja masalah yang muncul apabila menikah beda agama?

Adinda di Jakarta
(Nama dan alamat pada redaksi)

Untuk menjawabnya, baiknya mengetahui dahulu mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUP adalah :

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaanya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).

Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

1. Keabsahan Perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

2. Pencatatan Perkawinan
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan Sipil (KCS) oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di KCS, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

3. Status Anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

4. Menikah di Luar Negeri
Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif (lihat artikel terkait di sini dan di sini).

Peraturan perundang-undangan terkait
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
3. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga Bermanfaat.

Tito Hananta Kusuma, SH.MM.CPHR
(THK Law Office)


Disclaimer: Konsultasi Hukum ini bertujuan memberi pengetahuan terkait masalah hukum sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penggunaan Tips Hukum ini bukan ditujukan untuk proses pembuktian di depan penegak hukum.

Ilustrasi: zizahzizah.blogspot.com

I AM a career woman working in a renowned private company. I will soon get married, but the problem is that I and my spouse are of different religions. I want to ask what problems that may appear on having interfaith marriage?
Thank you B2B.

Adinda in Jakarta
(name and address are kept by editors)

 To answer this, it is better to know about legal requirements of marriage stipulated in Law No 1 Year 1974 on Marriage (UUP). Legal requirements of a marriage based on Article 2 of UUP are:

1. Providing that the marriage is organized based on religious procedure. In Article 2 Chapter 1, it is stated that there is no marriage organized beyond one’s religion and faith.

2. The marriage is registered based on the prevailing law. Regulation on marriage registration is further stipulated in Governmental Regulation No 9 Year 1975 on the Implementation of Law No 1 Year 1974 (PP No. 9/1975). For Islamic marriage, it will be administered by recording office as stipulated in Law No 32 Year 1954 on Documentation of Marriage, Divorce, and Reconciliation, namely Religious Affairs Office. As for other religions, it will be administered by Civil Registration Office (Article 2 Law No 9/1975).

Based on the regulation of a legal marriage stipulated in Law No 1 Year 1974, problems that may appear out of interfaith marriage are:

1. Legality of Marriage
In regard to the legality of a marriage organized based on one’s religion and faith stipulated in Article 2 Chapter 1 UUP, this means that the Regulation on Marriage allows it to be organized based on one’s religion. However, the problem is whether religions of each party allow interfaith marriage, for example, according to Islamic rules, women are prohibited to marry non-Muslim men [Al Baqarah (2):221]. In addition, Christian also prohibits interfaith marriage (I Corinthians 6: 14-18).

2. Marriage Registration

If interfaith marriage is arranged between a Muslim and a Christian, the problem is on marriage registration, whether it should be registered in Religious Affairs Office or Civil Registration Office due to differences in regulation. If it is to be registered in Civil Registration Office, the marriage will be examined whether it has fulfilled the requirements stipulated in Article 2 of UUP on legality of marriage. If the office reveals that the marriage is prohibited by the law, it may reject to register the marriage (Article 21 Chapter 1 UUP).

3. Status of Child
If the marriage is unregistered, it will affect the legal status of children born from the marriage. Based on Article 42 UUP, a legitimate child is a child born from legal marriage. If the marriage is not registered, then based on the law, the child is illegitimate and only has civil relationship with the mother or the maternal family (Article 2 Chapter (2) jo Article 43 Chapter (1) UUP).

4. Marriage Organized Abroad
If the interfaith marriage is organized abroad, the couple must register their marriage license to Marriage Registration Office in their residency area one year after they return to Indonesia (Article 56 Chapter (2) UUP.  The problems will be similar to those explained in point 2. Despite being illegal based on Indonesian law, Civil Registration Office may accept the marriage registration. The registration is not to determine the legality of marriage, but it is more of an administrative issue (read on related articles here and here)

Related laws on marriage
1. Law No. 1 Year 1974 on marriage
2. Law No. 32 Year 1954 on Documentation of Marriage, Divorce, and Reconciliation
3. Governmental Regulation No. 9 Year 1975 on Implementation of Law No. 1 Year 1974

Those are information from us. Hopefully it will be beneficial for you.

Tito Hananta Kusuma, SH.MM.CPHR
(THK Law Office)


Disclaimer: The Legal Consultation are intended to provide knowledge related to legal matters according to law in Indonesia. These tips are not intended as authentication process before law enforcer.