Inikah Hotel Termurah di Dunia? Tarifnya Rp10.000 per Malam

Is This the World`s Cheapest Hotel? Guests have to Share a Bed with 17 other People

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Inikah Hotel Termurah di Dunia? Tarifnya Rp10.000 per Malam
Tarif terendah 30 Taka atau Rp10.000 per malam, berlaku untuk tempat tidur dua tingkat semacam panggung panjang yang diberi dinding sebagai penyekat ruangan (Foto2: MailOnline)

APABILA menyebutnya hotel terapung memunculkan pemahaman berbeda dari disain futuristik, maka bukan itu maksudnya, karena sebuah bangunan yang berdiri di Bangladesh, Anda bahkan tidak akan menemukan kasur.

Dan untuk mengabaikan segala hal yang membuat tidak nyaman bagi mereka yang menghargai ruang pribadi mereka, para tamu hotel di sini menghabiskan malam di kamar termurah yang sempit dan berbaring di samping tamu lainnya.

Namun meskipun fasilitas sangat sederhana, pekerja dan wisatawan berduyun-duyun datang ke Faridpur Hotel di Dhaka karena biaya menginap semalam sangat murah, hanya Rp10.000 per malam.

Hotel terapung murah ini muncul pertama kalinya di kota Fifties, terutama untuk menampung pedagang Hindu yang datang ke Dhaka untuk bisnis di tepian sungai Buriganga. Seiring waktu, jumlah mereka terus meningkat.

Setelah Bangladesh mengumumkan kemerdekaan, jumlah mereka yang datang terus merosot.

The Faridpur Hotel, terletak di tepi sungai Buriganga, terdiri dari lima kapal terapung yang terpisah.

Namun tidak seperti hotel nyaman dengan perabotan indah dan pemandangan menarik yang kerap digunakan oleh wisatawan dari Eropa, tarif hotel yang murah tetap saja terasa mewah bagi tamu yang kurang mampu menginap di hotel yang lebih layak.

Tarif kamar hanya selisih tipis dari harga sebatang coklat, tamu mendapat tempat untuk melepas penat di alam hari dan dapat menggunakan air dengan gratis dan toilet selama mereka menginap.

Mereka juga mendapatkan loker kecil untuk menyimpan barang-barang berharga milik tamu.

Tidak ada televisi, tanpa ruang makan, tidak nyaman, tak ada kasur ukuran besar apalagi hiasan bunga. Namun kerap kali terjadi ketika hotel penuh maka tamu tidur berjejal.

Muhammad Mustafa Miyan, pemilik hotel usia 46 mengatakan: "Kami menyediakan penginapan untuk sekitar 40 tamu untuk menginap dan mereka dapat tinggal maksimal selama tiga bulan."

Ada 48 kamar di hotel, terdiri dari kabin pribadi dan tempat tidur.

Harga terendah 30 Taka, atau 31 pence, berlaku untuk tempat tidur dua tingkat semacam panggung panjang yang diberi dinding sebagai penyekat ruangan.

Tidak ada kasur dan mereka yang tinggal di sana terpaksa menggunakan tempat tidur untuk membuat hal-hal yang sedikit lebih nyaman.

Kamar-kamar yang paling mahal tarifnya sekitar Rp25.000 dan tamu mendapat kabin pribadi.

Namun hotel bukan ditujukan untuk keluarga. Sebaliknya, lebih banyak dimanfaatkan para pedagang dari kabupaten yang berbeda dan beberapa kota di sekitar kawasan perdagangan Sadarghat di Dhaka.

Dan ada banyak pedagang yang tinggal di hotel ini untuk jangka waktu yang lama.

Siraj Mohammad, 55, adalah penjual buah yang lebih dari 40 tahun memanfaatkan hotel terapung ini - ketimbang mondar-mandir dari rumahnya di Shariatpur ke Dhaka.

Selama bertahun-tahun, Mohammad memahami bagaimana membuat dirinya nyaman selama menginap di situ.
Dia mengatakan: 'Saya datang ke Dhaka sebelum kemerdekaan. Pada saat itu, setidaknya ada 50 hotel terapung di Buriganga tergolong nyaman dan murah. Bagi saya itu adalah pilihan terbaik untuk tinggal di Dhaka. Jadi saya memilih menginap di sini."

Seperti dia, setidaknya ada 15 pedagang lain yang telah tinggal di hotel terapung ini selama lima sampai 20 tahun.

Miyan, yang telah menjalankan hotel selama 26 tahun terakhir, mengaku bahwa hotel ini menjadi terkenal lantaran tarifnya yang murah seperti dilansir MailOnline.

Dia berkata: "Tarifnya sangat murah sehingga orang-orang yang datang dari kota-kota kecil dan desa-desa untuk bekerja dan berdagang memilih menginap di sini."

'Tarif hotel sudah termasuk minum, toilet bersih, tempat tidur terpisah.

"Dan kami juga menyediakan loker kecil untuk pelanggan kami untuk menyimpan barang-barang berharga milik mereka. Namun kami tidak menyediakan makanan."

IF THE mention of a floating hotel conjures visions of a futuristic designer hub, think again, as at one such establishment in Bangladesh, you won't even find a mattress.

And to make matters even less comfortable for those who value their personal space, guests spending the night in its cheapest rooms will need to do so while lying next to other holidaymakers.

But despite the basic facilities, workers and tourists flock to the Faridpur Hotel in Dhaka because an overnight stay there costs as little as 31p.

These cheap floating hotels popped up for the first time in the city in the Fifties, mainly to accommodate Hindu traders who came to Dhaka for business by the Buriganga river. Over time, their numbers gradually increased.

After Bangladesh declared independence, their numbers fell to just five.

The Faridpur Hotel, situated on the bank of the Buriganga river, is made up of five separate floating boats.

But unlike the comfy hotels with exquisite furnishing and striking views that Western travellers are used to, these cheap beds are anything but fancy.

For less than the price of a bar of chocolate, guests are given a place to spend the night and have access to free water and toilets during their stay.

They also get a small locker to keep their possessions in.

There are no TV sets, no living-dining area, no comfy, queen size mattresses and no flowers to decorate the room. Yet at any given point in a day, one can find scores of guests packed inside the floating hotels.

Muhammad Mustafa Miyan, the 46-year-old owner of Faridpur Hotel, said: 'We have anywhere around 40 guests at a time in our hotel and they stay for as long as three months.'

There are 48 rooms in the hotel, consisting of private cabins and beds.

The lowest price of Taka 30, or 31 pence, applies to a bed in a shared room perched on a large launch.

There are no mattresses and those who stay there are forced to use bedding to making things a little more comfortable.

Its most expensive rooms cost Taka 120 (£1.25), for which a guest gets a private cabin.

But these hotels are not meant for families. Instead, it's mainly traders from different district and towns who need to stay near the busy Sadarghat area of the city that stay there.

And there are many traders who stay in these hotels for long periods of time.

Siraj Mohammad, 55, is a fruit seller who has spent more than 40 years in these floating hotels - staying between his home in Shariatpur and Dhaka.

Over the years, Mohammad has learnt to make himself feel comfortable at the accommodations.

He said: 'I came to Dhaka before independence. At that time, there were at least 50 floating hotels in Buriganga and it was convenient and cheap. For me it was the best option to live in Dhaka. So I stayed back.'

Like him, there are at least 15 other traders who have lived in these floating hotels for five to 20 years.

Miyan, who has been running the hotel for the last 26 years, says the popularity of the hotel is mainly down to its price.

He said: 'It is cheap so people who come from small towns and villages for their work and business stay here.

'For a nominal price, they get purified water, clean toilets, separate beds.

'And we also provide our customers with small lockers to keep their valuable things. But food is not provided.'