Soros: "Sebagai Warga Yahudi di Budapest, Saya Menderita seperti Rohingya"

Soros: "As a Jew in Budapest, I Too Was a Rohingya"

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Soros: "Sebagai Warga Yahudi di Budapest, Saya Menderita seperti Rohingya"
Milyuner George Soros saat berkunjung ke Indonesia menemui Presiden RI Joko Widodo (Foto: istimewa)

PERTEMUAN INTERNASIONAL di Institut Nobel di Oslo, Norwegia, dibuka Selasa oleh mantan Perdana Menteri Norwegia Kjell Magne Bondevik. Swedia berjanji memberi bantuan US$1,3 juta untuk membantu warga Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar dengan meningkatkan kondisi hidup, mencegah orang melarikan diri melalui laut dan mengatasi konflik horisontal antara kelompok etnis di Myanmar.

Pertemuan ini menampilkan pernyataan melalui video dari tiga pemenang Hadiah Nobel yakni Desmond Tutu, José Ramos-Horta dan Mairead Maguire, dan turut hadir seperti filantropis George Soros, yang melarikan diri dari Hongaria setelah diduduki Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II.

Soros mengatakan bahwa "ancaman yang paling mendesak pada masa Myanmar adalah meningkatnya sentimen anti-Muslim."

"Sebagai seorang warga Yahudi di Budapest, saya juga menderita seperti warga Rohingya," katanya dalam sebuah pernyataan melalui video." Perlakuan Myanmar paralel dengan kekejaman genosida oleh Nazi dan itu pertanda bahaya. "Untungnya, kami warga Yahudi belum sampai pada tahap pembunuhan massal."

Pernyataan para tokoh dunia berfokus pada cara-cara untuk mengakhiri penganiayaan berkepanjangan terhadap warga Rohingya dan menyuarakan penderitaan mereka ke seluruh dunia, seperti dikutip AAP yang dilansir MailOnline.

"Jika Anda memilih netral dalam situasi ketidakadilan, Anda memilih mendukung si penindas," kata Tutu, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 1984 untuk perlawanannya terhadap rezim apartheid brutal Afrika Selatan, dalam pernyataannya melalui rekaman video.
"Kalau gajah menginjak ekor tikus dan Anda mengatakan bahwa Anda netral, sang tikus tidak akan menghargai netralitas Anda."

Transisi Myanmar dari rezim kediktatoran menuju demokrasi ternyata berdampak tragis pada hak-hak azasi manusia.

Kebebasan berekspresi yang menjadi tuntutan awal, ternyata reformasi politik saat ini melahirkan sisi gelap, membuka konflik akibat kebencian mendalam terhadap warga minoritas berkulit gelap dari Rohingya.

Sikap antiminoritas ini didorong oleh para biksu yang marah, massa dilengkapi hunusan pedang turun ke jalan pada 2012, menewaskan hingga 280 orang dan memaksa 140 ribu warga dikurung, digiring ke sebuah tempat semacam penjara. Warga Rohingya dilarang sekolah dan minimnya fasilitas medis, kebebasan mereka juga dibatasi, harus membayar suap besar dan tindak kekerasan untuk melewati barikade polisi, bahkan dalam kondisi darurat.

THE INTERNATIONAL gathering at the Nobel Institute in Oslo, Norway, was opened Tuesday by former Norwegian prime minister Kjell Magne Bondevik. His country pledged $1.3 million to help Rohingya in Myanmar's Rakhine state by improving living conditions, preventing people from fleeing by sea and curbing tensions between ethnic groups.

The meeting featured video statements from Nobel laureates Desmond Tutu, José Ramos-Horta and Mairead Maguire, and others like philanthropist George Soros, who escaped Nazi-occupied Hungary.

Soros said that "the most immediate threat to Burma's transition is the rising anti-Muslim sentiment."

"As a Jew in Budapest, I too was a Rohingya," he said in a video statement." The parallels to the Nazi genocide are alarming. Fortunately, we have not reached a stage of mass killing."

The messages focused on ways to end the decades-long persecution of Rohingya and the need to speak out.

"If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor," Tutu, who won the 1984 Nobel Peace Prize for his opposition to South Africa's brutal apartheid regime, said in his video statement.

"If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality."

Myanmar's transition from dictatorship to democracy has been a bumpy one.

The freedoms of expression that accompanied early, now-stalled political reforms had a dark side, lifting the lid off deep-seated resentment toward the dark-skinned Rohingya minority.

With hard-line Buddhist monks fanning the anger, machete-wielding mobs started taking to the streets in 2012, killing up to 280 people and forcing another 140,000 into crowded, dusty internment camps. They have little access to school and adequate health care, nor can they move around freely, having to pay hefty bribes to pass police barricades, even for emergencies.