Riset Asing, EIU Akui Skor Ketahanan Pangan RI Tertinggi dari 113 Negara

The Global Food Security Index Considers of Affordability, Availability, and Quality of 113 Countries

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


Riset Asing, EIU Akui Skor Ketahanan Pangan RI Tertinggi dari 113 Negara
Secara umum terlihat kecenderungan positif menuju skor lebih baik, dan pada saat yang bersamaan akan menaikkan peringkat Ketahanan Pangan Indonesia ke arah lebih baik secara signifikan (Tabel: The Economist Intelligence Unit)

PRESIDEN RI Joko Widodo mengingatkan semua menteri dan pimpinan lembaga bekerja cepat dan efektif sebagai tim yang solid, kompak, dan saling mendukung karena tidak ada visi dan misi menteri yang ada hanyalah visi misi Pemerintah RI.

"Tidak ada lagi yang saling menyalahkan. Dan kalau ada yagn kurang, ya ini kekurangan kita semua, karena kita berada dalam satu tim kerja," kata Presiden Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna pada Rabu petang (27/7) pasca perombakan kabinet (reshuffle) pada siang harinya.

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada Sabtu (23/7) Luhut B Panjaitan yang saat itu masih menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) telah melaksanakan perintah Presiden Jokowi untuk mendukung kinerja menteri lain di kabinetnya seperti terungkap dari riset internal di kementeriannya terhadap kinerja Kementerian Pertanian RI (Kementan) di bawah kepemimpinan Andi Amran Sulaiman yang menunjukkan trend positif.

"Tadi di pesawat terbang, staf saya bernama Seto lapor tentang hasil riset terhadap kinerja Kementan ternyata menunjukkan kinerja positif, dan swasembada pangan khususnya jagung akan bisa tercapai dalam satu tahun ke depan," kata Luhut di Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara pada wisuda dan penerimaan pelajar baru SMA Unggul Del Toba Samosir (Tobasa).

Luhut menambahkan, dari hasil riset internal di kementeriannya terungkap bahwa sektor pangan nasional kerap diganggu sejumlah pihak yang tidak menginginkan Indonesia mencapai kedaulatan pangan, dan memilih jalan pintas melalui impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Mentan Amran Sulaiman kemudian mengambil langkah berani melarang impor jagung diikuti langkah penyitaan jagung impor yang terlanjur masuk di Indonesia.

"Ketika Mentan mengubah kebijakan impor jagung tahun lalu sempat memicu gejolak di industri pakan, dan harga jagung sempat melambung tapi kemudian pada 2016 harga berangsur normal dan menguntungkan petani," kata Seto, staf khusus Luhut B Panjaitan.

Menurut Seto, kebijakan Mentan terhadap jagung impor sangat positif bagi petani dan konsumen sehingga terjadi win-win solution, dan kinerja positifnya adalah impor jagung turun hingga 47%, kalau pada 2015 Indonesia mengimpor jagung hingga 1,5 juta ton dan tahun ini hanya 800.000 ton karena sebagian besar kebutuhan dipasok dari dalam negeri.

"Kami harapkan Mentan menghitung ulang second half-nya kalau hasil panennya bagus, dan kami pikir ini kebijakan yang sangat tepat," kata Seto.

Menteri Luhut mengakui sempat mempertanyakan kinerja Mentan Amran Sulaiman namun sesuai arahan Presiden Jokowi untuk mendukung kinerja koleganya di Kabinet Kerja, dia memerintahkan timnya di Kantor Menko Polhukam untuk memantau dan menguji langsung di lapangan.

"Ternyata apa yang kami lihat dan dapati berbeda dengan yang diceritakan sejumlah pihak yang memang tidak senang dengan sepak terjangnya mengandalkan produksi pangan nasional," kata Luhut.

Seto menambahkan, kecaman terhadap Menteri Amran dilontarkan melalui media massa maupun media sosial. "Menteri Amran sering diserang, itu kerjanya mafia, kata Pak Luhut, ketika kita melakukan terobosan, pasti orang-orang yang menikmati uang-uang yang nggak jelas.... pasti akan bereaksi..."

Ketika apresiasi tersebut tersebut dikonfimasi kepada Mentan Amran Sulaiman, jawabannya singkat, "lebih baik orang lain yang menilai kerja keras saya. Saya sudah wakafkan diri saya untuk bangsa dan negara."

Peringkat Keamanan Pangan GFSI
Lembaga riset internasional, the Economist Intelligence Unit (EIU) ternyata turut memantau pembangunan pertanian Indonesia dengan merilis data terbaru tentang Global Food Security Index (GFSI) pada 9 Juni 2016, yang menyatakan bahwa dari peringkat GFSI secara keseluruhan (overall) peringkat Indonesia di 74 naik ke 71 dari 113 negara yag disurvai.

Hasil riset GFSI dilansir di http://foodsecurityindex.eiu.com/ menyebut bahwa Indonesia pernah meraih peringkat tertinggi dalam lima tahun terakhir adalah pada 2012, di peringkat ke-64 namun skor saat itu hanya 46,8 sedangkan tahun ini mencapai skor tertinggi selama lima tahun terakhir, dan untuk pertama kalinya menembus nilai50 tepatnya 50,6.

Secara umum terlihat kecenderungan positif menuju nilai GFSI yang lebih baik, dan pada saat yang bersamaan akan menaikkan peringkat Ketahanan Pangan Indonesia ke arah yang lebih baik secara signifikan seperti terlihat pada tabel.

Nilai indeks keseluruhan ditentukan oleh tiga aspek yakni Keterjangkauan (Affordability), Ketersediaan (Availability), dan Kualitas dan Keamanan ( Quality & Safety). Masing-masing aspek memiliki indikator tersendiri sebagai alat untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam menjalankan program keamanan pangannya. Pada 2016, terlihat bahwa aspek Keterjangkauan dan Ketersediaan untuk Indonesia meningkat drastis sehingga menjadi aspek yang dominan mempengaruhi kenaikan nilai indeks secara keseluruhan, sedangkan aspek Kualitas dan Keamanan hampir tidak mengalami perubahan.

Meningkatnya nilai indeks untuk aspek Keterjangkauan tampaknya terpantau dari usaha keras Kementan memotong rantai pasok pangan melalui penyediaan kapal ternak, menumpas mafia pangan dan menghambat akses tengkulak (middleman), membangun 1.000 Toko Tani Indonesia (TTI) dan meningkatkan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai lembaga penyanggah pangan nasional. Program-program tersebut mendekatkan produsen dan konsumen sehingga membuat ´petani senang dan konsumen tersenyum´.

Sementara aspek Ketersediaan Indonesia di peringkat 66, yang melampaui peringkat keseluruhan (71) erat hubungannya dengan peningkatan produksi komoditas pangan seperti dirilis BPS tentang produksi beras 2015 mencapai 75,4 juta ton dan cadangan beras memadai hingga Maret 2017. Diikuti peningkatan produksi jagung terukur dari menurunnya impor jagung hingga 47%, meningkatnya produksi bawang merah dan cabai untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Hasil riset GFSI juga melaporkan tentang perubahan besar pada indeksi keseluruhan, 2,7 dapat dikaitkan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dilansir BPS pada April 2016 bahwa terjadi deflasi sebesar 0,45% yang dinyatakan BPS sebagai tertinggi sejak tahun 2000. Penyokong deflasi menurut BPS antara lain padi, beras, daging, ikan segar, ikan olahan, telur, dan bumbu-bumbuan.

Data yang disusun GFSI dalam indikator kuantitatif berasal dari data statistik nasional dan internasional. EIU menggunakan angka estimasi untuk menghindari nilai kuantitatif dari survei. Perkiraan angka dicatat dalam model buku kerja. Sementara indikator kualitatif, yang dibuat oleh EIU, berdasarkan informasi dari bank-bank pembangunan dan website pemerintah, sementara data lain dikumpulkan dari berbagai survei dan sumber data kemudian disesuaikan dengan EIU.

Sumber data yang digunakan EIU untuk menyusun GFSI berasal dari Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Program Pangan Dunia (WFP), Indikator Sains dan Teknologi Pertanian (ASTI) dan kantor statistik di negara-negara yang diriset.

Kendati begitu, harus diakui bahwa aspek Kualitas dan Keamanan pangan Indonesia harus terus ditingkatkan, dengan kata lain kita harus sepakat bahwa penanganan Keamanan Pangan Nasional harus ditangani bersama secara total, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.

Laporan GFSI menyebutkan tujuh kekuatan Indonesia di sektor pangan meliputi tujuh aspek yakni standar nutrisi, volatilitas produksi pertanian, tarif impor produk pertanian,  kehilangan pangan, kapasitas penyerapan urban,  keamanan pangan, dan program jaring pengamanan pangan saat ini. Indonesia juga menghadapi empat tantangan belanja publik untuk penelitian dan pengembangan pertanian, pendapatan domestik bruto per kapita, diversifikasi pangan dan kualitas protein.

INDONESIAN President Joko Widodo to remind all the ministers and heads of state institutions to work quickly and effectively, and mutual support because there is no vision and mission of the minister that there is only the vision and mission of the Indonesian Government.

"Ministers having to work as a team. Working hard to improve the performance of each ministry, because we are a team," President Widodo said while leading a cabinet meeting on Wednesday evening (Jul 27) after a cabinet reshuffle in the afternoon.

A few days earlier, on Saturday (Jul 23) Luhut B Panjaitan who was still served as the Indonesian security minister carry out the President´s order to support other ministers, as revealed in the ministry of internal research on the performance of the Ministry of Agriculture led by by Andi Amran Sulaiman showed a positive trend.

"On an airplane before, my staff, Seto report the results of internal research that the performance of the agriculture ministry proved positive, and self-sufficiency in food, especially the corn will be achieved next year," Minister Panjaitan said in Del Toba Samosir high school of North Sumatera province.

Mr Panjaitan added from internal research revealed that the national food sector is often disturbed by a number of parties were intending inhibit the target Indonesia achieve food sovereignty, and choose food imports to meet national food needs. But Minister Sulaiman fearlessly banned the corn imports, then confiscated the corn imports already entered into Indonesia.

"After last year the Minister Sulaiman change the policy of the corn imports, had sparked turmoil in the animal feed industry, and corn prices could soar but then in 2016 the price of the corn to normal, which benefits farmers and the price is affordable for consumers," said Seto, special staff Minister Panjaitan.

According to Seto, the agriculture minister policy is very positive for farmers and consumers as a win-win solution, and the positive performance of corn imports fell by 47%, in 2015 the corn imports reached 1.5 million tons and this year only 800,000 tons.

"We hope Minister Sulaiman recalculate the second half after the corn harvest, and we think this policy is very appropriate," he said.

Minister Panjaitan claimed had questioned the performance of Minister Sulaiman but appropriate orders of President Widodo to support the work of his colleagues in the cabinet, he ordered his team to monitor and test in the field.

"It turns out that what we see and get at different pitches with commentary from some parties, who are not happy with the food self-sufficiency program," he said.

Seto added that the Minister Sulaiman policy denounced through mass media and social media. "Mr. Sulaiman has often been criticized, Mr Panjaitan said it was the work of the mafia, if we make a breakthrough, they are in the comfort zone will be disturbed .... they will reacted ..."

While confirm to Minister Sulaiman about the appreciation, he replied simply, "let the someone else commented, I am devoted to the nation."

The Global Food Security Index
International institutions, the Economist Intelligence Unit (EIU) also examined the Indonesian agricultural development on the Global Food Security Index (GFSI) on June 9, 2016, which states that overall, Indonesia´s ranking rose from 74 to 71 of 113 countries.

GFSI publish through http://foodsecurityindex.eiu.com/ and Indonesia has been ranked highest in five years in 2012, ranked 64th at the time but the score of 46.8, while this year reach a score 50 for the first time, exactly 50.6.

In general, the tendency is positive for Indonesia, and at the same time raising the Food Safety ratings are significantly better.

Index score is determined by three aspects: Affordability, Availability, and Quality & Safety. Every aspect has indicators as a tool for assessing a country´s success in implementing food safety programs. In 2016, the aspect Affordability and Availability for Indonesia increased dramatically as the dominant aspect in the overall index scores, while the Quality and Safety aspects virtually unchanged.

Affordability score presumably referring to the efforts of the ministry cut off the food supply chain with livestock carriers, mafia quell food and hamper access middleman, developing 1,000 farm shops (TTI) and the National Logistics Agency as national food buffer. The whole program makes farmers and consumers happy.

While aspects The availability on ranked 66, which exceeds overall rank (71) related to the increased production of food commodities were announced by the Statistics Agency of rice production in 2015 reached 75.4 million tonnes, and rice available until March 2017. Production of the corn measurable decrease in imports to 47%, onion and chili production also increased.

GFSI research results also reported on a major change in the overall index, 2.7 can be linked to the Consumer Price Index Statistics announced in April 2016 related to the deflation of 0.45%, expressed as the highest since 2000. The cause of deflation include rice, rice, meat , fresh fish, processed fish, eggs, and spices.

Data for the quantitative indicators are drawn from national and international statistical sources. Where there were missing values in quantitative or survey data, the EIU has used estimates. Estimated figures have been noted in the model workbook. Of the qualitative indicators, some have been created by the EIU, based on information from development banks and government websites, while others have been drawn from a range of surveys and data sources and adjusted by the EIU.

The main sources used in the GFSI are the EIU, the World Bank Group, the International Monetary Fund (IMF), the UN Food and Agriculture Organisation (FAO), the UN Development Programme (UNDP), the World Health Organisation (WHO), the World Trade Organisation (WTO), the World Food Programme (WFP), Agricultural Science and Technology Indicators (ASTI) and national statistical offices.

Despite that, it must be recognized that the quality and safety should be improved, in other words we have to agree that the handling of the Food Safety Authority must be handled in total involving all parties.

GFSI mentioned seven excellence in the food sector include nutritional standards, the volatility of agricultural production, food import tariffs, the loss factor, the absorption capacity of urban, food safety, and food safety net program. Indonesia also faces four challenges such as public spending on agricultural research and development, gross domestic income per capita, diversification and quality protein.