Ekspor Bawang Merah 2015 Capai 8.233 Ton, Naik 93% dari 2014, kata Pusdatin Kementan

Indonesia Shallots Exports in 2015 Rose 93% of 2014, Agriculture Ministry Say

Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


Ekspor Bawang Merah 2015 Capai 8.233 Ton, Naik 93% dari 2014, kata Pusdatin Kementan
Mentan Andi Amran Sulaiman (jongkok) berbincang dengan para petani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jateng, dan Kepala Pusdatin, Suwandi (inset bawah) usai dilantik Mentan (Foto2: B2B)

Jakarta (B2B) - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan realisasi ekspor bawang merah pada Januari - November 2015 mencapai 8.323 ton atau naik 93% dari periode yang sama pada 2014, sehingga peningkatan produksi mampu menekan impor bawang hingga 17.429 ton atau turun 74% dan dapat menghemat devisa sekitar Rp299 miliar.

"Akhir-akhir ini disajikan berita impor pangan, tapi ada yang luput dari pemberitaan di media massa khususnya tentang realisasi ekspor bawang merah, dan prestasi ini berkat kerja keras pemerintah bersama para petani bawang dan semua pemangku kepentingan," kata Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) Suwandi melalui pernyataan tertulisnya pada Jumat (22/1).

Menurutnya, peningkatan jumlah ekspor bawang merah didorong oleh produksi domestik sehingga terjadi surplus. Sementara angka prognosa produksi bawang merah 2015 mencapai 1,24 juta ton atau naik 0,5% ketimbang 2014 yang mencapai 1,23 juta ton dari beberapa sentra produksi di enam kabupaten di empat provinsi: Brebes di Jawa Tengah, Nganjuk dan Probolinggo (Jawa Timur), Bima dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan Tapin (Kalimantan Selatan).

Suwandi menambahkan, sistem tata niaga bawang merah telah ditata lebih baik untuk mencegah terjadinya gejolak harga dengan menekan disparitas harga di tingkat petani dengan tingkat eceran, hasil koordinasi antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan dan Badan Urusan Logistik (Bulog).

"Kiat pemerintah antara lain dengan membeli bawang merah ke sentra-sentra produksi utama di enam kabupaten dan empat provinsi diikuti oleh operasi pasar di beberapa daerah khususnya DKI Jakarta, untuk memotong rantai pasokan untuk mendorong kestabilan harga," katanya lagi.

Menurutnya, langkah-langkah tersebut mendorong 904.000 petani dapat menikmati hasil jerih payah mereka. Sementara dari data Survei Ongkos Usaha Tani (SOUT) yang dilansir BPS pada 2014 menyebutkan  biaya produksi bawang merah Rp 67,2 juta per hektar dan pendapatan Rp77,2 juta per hektar, artinya pendapatan petani bawang merah berkisar Rp185.642 per bulan per orang.

"Merujuk pada data SOUT yang dilansir BPS tersebut dapat diketahui juga bahwa biaya pokok produksi break-even point Rp6.588 per kg, sehingga harga di tingkat petani saat ini di kisaran Rp7.000 hingga Rp12.000 per kg dan secara otomatis petani meraih laba yang memadai. Tentunya, diketahui secara luas bahwa usaha tani bawang merah tergolong berisiko dan rentan terhadap gangguan cuaca, hama dan penyakit tanaman," kata Suwandi.

Jakarta (B2B) - Indonesian Statistics Agency stated the export realization shallots in January-November 2015 to reach 8,323 tons or increase 93% from the same period in 2014, an production increase managed reduce imports into 17,429 tons or decrease 74% so that can save foreign exchange up 299 billion rupiahs.

"Lately, a lot of news about Indonesia import the food, but something is missing from the media coverage, especially about export of shallots, and this achievement because the hard work of government with farmers and stakeholders," Head of Data Agriculture Ministry´s Information System for Agriculture, Suwandi through a written statement here on Friday (22/1).

According to him, the increase in export shallots is driven by domestic production so that the surplus. While the prognosis figures of production in 2015 reached 1.24 million tons or increase 0.5% than 2014, which reached 1.23 million tons, from production centers in six districts of four provinces: Brebes in Central Java, Nganjuk and Probolinggo (East Java) , Bima and Sumbawa (West Nusa Tenggara), and Tapin (South Kalimantan).

Suwandi added the trade system is also better organized to prevent price volatility by pressing the disparity in the level of farmers to the retail level, owing coordination between the Agriculture Minstry with Trade Ministry and Indonesian Logistics Agency.

"The trick of government among others by buying shallots to the production centers in six districts and four provinces followed with bazaar activity in some areas, especially Jakarta to cut off the supply chain order to stabilize prices," he said.

According to him, these measures boost farmers´ income of 904,000 farmers. While the cost of Farm Survey was reported by the statistics agency in 2014 stating shallots production costs 67.2 million rupiahs per hectare, and the result is 77.2 million rupiahs per hectare, meaning that farmers´ income about 185,642 rupiah per month per farmer.

"Referring to the statistical data, it is also known production cost for the break-even point around 6,588 rupiahs per kg, so the price at the farm level is currently around 7,000 rupiah to 12,000 rupiah per kg, and farmers have benefited. It is generally known, planting shallots relatively risky and vulnerable to weather disturbances, pests and plant diseases," Suwandi said.