Sukses Petani Jagung NTB Atasi Dampak El Nino Diapresiasi Lembaga Asing

Indonesian Farmers Befriend Soil to Protect Harvests from Climate Stress

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Sukses Petani Jagung NTB Atasi Dampak El Nino Diapresiasi Lembaga Asing
Mentan Amran Sulaiman panen jagung di Lombok, NTB (Foto: istimewa)

PADA AWAL 2016, ketika rekan-rekannya sesama petani putus asa atas hasil panen yang terdampak musim kemarau panjang, Hamdi malah sibuk memanen jagung di lahan pertanian miliknya.

Hasil panen jagung meningkat hingga 5,6 ton dan bukan empat ton per hektar seperti biasanya, meskipun lahan pertaniannya berada di Nusa Tenggara Barat, salah satu provinsi yang paling terdampak kekeringan akibat cuaca ekstrim El Nino.

"El Nino tidak berdampak pada petani yang menerapkan pertanian konservasi, mereka tidak menderita kerugian," kata pria pria berusia 38 tahun kepada Yayasan Thomson Reuters pada suatu sore yang cerah di desa Pemongkong di pulau Lombok.

Hamdi adalah petani pertama di desanya yang mengadopsi metode pertanian alami pada Oktober 2015, tepat sebelum El Nino menyerang.

Awalnya dia tertarik dengan pembicaraan tentang penghematan biaya apabila menerapkan pertanian konservasi membutuhkan lebih sedikit pupuk, dan  tenaga kerja lebih sedikit untuk menyiangi dan menyiapkan lahan.

Namun manfaat terbesar sejauh ini adalah kemampuan pertanian konservasi membantu Hamdi mengatasi dampak kekeringan akibat kemarau panjang.

Petani Lombok yang mempraktikkan pertanian konservasi untuk meningkatkan daya adaptasi lahan pertanian dan tanaman terhadap dampak El Nino, panen meningkat 70% lebih banyak ketimbang pertanian konvensional, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

"Pertanian konservasi adalah memperbarui kehidupan tanah," kata John Weatherson, penasihat FAO. "Ini tentang menstabilkan hasil panen sehingga saat terdampak perubahan cuaca, para petani duduk dengan cantik."

Metode ini telah lama dikembangkan, namun tekanan yang meningkat dari perubahan iklim, populasi yang tumbuh dan menyusutnya lahan subur telah mendorong "pencarian untuk praktik kesadaran ekologis yang berkelanjutan," kata Catherine Chan-Halbrendt, pakar dari Universitas Hawaii.

Dalam pertanian konservasi, kesuburan tanah tetap dijaga, dengan menggunakan lubang tanam permanen yang diberi pupuk kompos dan bukan pupuk dari bahan kimia.

Ada tiga prinsip utama pertanian konservasi adalah pengolahan tanah seringan-ringannya, penutupan permukaan tanah secara permanen, dan rotasi tanaman dengan kacang-kacangan.

Praktik ini membantu mengurangi erosi dan aliran air, dan meningkatkan kesuburan tanah dan hasil panen, kata para ahli.

Penduduk desa Pemongkong, yang telah mencoba metode untuk dua musim tanam, mengatakan hasil panen meningkat. Di samping biaya pupuk dan tenaga kerja yang lebih rendah, mereka berhasil meraih untung lebih banyak seperti dikutip Reuters.

Hasil Panen Meningkat
Pertanian konservasi diadopsi di tempat lain, termasuk Siberia yang memiliki jutaan hektar lahan pertanian yang terdegradasi dan Kanada, di mana rotasi tanaman telah menambahkan nitrogen organik ke tanah dan menghancurkan siklus hama dan penyakit.

Di Indonesia, menanam tanaman bergizi sebagai tanaman penutup telah memperbaiki pola makan penduduk desa Pemongkong, dan saat ini lebih banyak banyak memakan kacang panjang, kacang kedelai dan kacang hijau secara teratur.

Saimah, 50, seorang petani miskin yang hanya memiliki lahan sempit dan terdampak El Nino, dulunya hanya makan satu kali sehari, namun hasil panen dari lahan pertaniannya meningkat dua kali lipat lantaran pertanian konservasi.

"Sekarang kami makan telur secara teratur dan daging sebulan sekali. Akhirnya saya bisa menabung," katanya.

Terlepas dari manfaatnya, semula konsep ini asing bagi banyak petani ketika FAO mengenalkannya di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dua provinsi dengan kerawanan pangan yang tinggi, curah hujan rendah dan produktivitas pertanian yang lemah, kata Ageng Herniato, perwakilan FAO di Indonesia.

"Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah mengubah pola pikir mereka," kata Herniato. Pertanian konvensional memerlukan persiapan tanah yang berat dan pembakaran biomassa yang tidak diinginkan, yang melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya, berkontribusi terhadap perubahan iklim - dan hal ini tidak terjadi pada pertanian konservasi.

FAO bermitra dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI (Balitbangtan), dan melakukan uji tanam (demplot) agar petani mengetahui bagaimana pemanfaatan lahan dan hasil panen.

Metode ini kini telah diterapkan oleh hampir 13.000 petani, dan FAO bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk memasukkannya ke dalam kebijakan pertanian nasional, kata FAO.

Tantangan
Namun tantangannya tetap ada, terutama karena banyak petani terbiasa dengan praktik konvensional.

FAO menyediakan benih jagung komposit yang berkualitas tinggi yang dihasilkan melalui penyerbukan terbuka, untuk penduduk desa Pemongkong  yang dapat digunakan kembali beberapa kali dan berkinerja lebih baik selama kondisi cuaca ekstrem, kata Herniato.

Namun Hamdi, yang menikmati dua musim tanam yang berhasil, tidak memiliki bibit tersisa. Dia menjual semuanya, sebagian karena harga jagung sangat bagus, dan sebagian karena ia khawatir hasil panen akan turun jika ia terus menggunakan bibit komposit.

Untuk musim yang akan datang, ia berencana untuk kembali ke benih hibrida, yang harganya antara Rp50.000 sampai 65.000 rupiah per kilo. Petani mengatakan sekitar 30 kg benih dibutuhkan per hektar.

"Dengan hibrida, saya tahu saya harus membelinya setiap tahun dan saya akan mengeluarkan lebih banyak uang," katanya. "Tapi hibrida lebih mudah ditemukan di pasaran dan lebih tahan terhadap hama."

Hal ini menjadi tantangan tentang bagaimana meningkatkan pemahaman agar petani bisa memahami pro dan kontra varietas benih yang berbeda, kata penasihat FAO Weatherson, yang mempraktikkan pertanian konservasi di Swaziland di mana dia tinggal.

Benih hibrida memiliki potensi hasil yang sangat tinggi namun membutuhkan pengairan, atau setidaknya curah hujan yang dapat diperkirakan dan pemupukan yang baik, katanya.

"Saya pikir apa yang dibutuhkan petani lebih dari apa pun adalah ... diberi semua saran teknis yang mereka butuhkan namun keputusan tetap di tangan mereka," katanya yang dilansir MailOnline.

IN EARLY 2016, when fellow farmers were despairing over plummeting yields linked to a major drought, Hamdi was busy harvesting maize from his land.

He got 5.6 tonnes instead of the usual 4 tonnes from his one-hectare (2.5-acre) plot, despite living in West Nusa Tenggara, one of Indonesia´s driest provinces where agriculture is at the mercy of extreme weather such as that brought by the El Nino climate pattern.

"El Nino did not affect those practicing conservation agriculture, but those who weren´t suffered a lot," the 38-year-old told the Thomson Reuters Foundation on a sunny afternoon in Pemongkong village on Lombok island.

Hamdi, who goes by one name only, was among the first in his village to adopt the natural farming method in October 2015, just before El Nino hit.

He was initially attracted by talk of possible savings because conservation agriculture requires less fertiliser, as well as less labour for weeding and preparing land.

But the greatest benefit so far has been its ability to help Hamdi weather the long drought.

Lombok farmers who practiced conservation agriculture were more resilient to the effects of El Nino, harvesting about 70 percent more than those using traditional methods, according to the United Nations´ Food and Agriculture Organization (FAO).

"Conservation agriculture is about renewing the life of the soil," said John Weatherson, an advisor to the FAO. "It´s about stabilising yield so when the shocks come, the farmers are sitting pretty."

The method has always been around, but rising pressures from a changing climate, growing population and shrinking arable land have prompted "a search for more sustainable, ecologically conscious practices", said Catherine Chan-Halbrendt, an expert on the issue at the University of Hawaii.

In conservation agriculture, soil disturbance is kept to a minimum, using permanent planting holes fertilised with compost instead of chemicals.

The soil surface is covered with crop residues as mulch, and farmers rotate crops or inter-crop between cereals and legumes.

These practices help reduce erosion and water run-off, and increase soil fertility and crop yields, experts say.

Pemongkong villagers, who have tried the method for two planting seasons, say yields have risen. Alongside lower costs for fertilisers and labour, they have more money in their hands.

Better Diets
Conservation agriculture is being adopted in other places, including Siberia which has millions of hectares of degraded cropland and Canada, where crop rotation has added organic nitrogen to the soil and broken cycles of pests and diseases.

In Indonesia, growing nutritious plants as cover crops has improved the diets of Pemongkong villagers, with many now eating long beans, soya beans and mung beans regularly.

Saimah, 50, a rake-thin farmer whose two-hectare plot was affected by El Nino, used to have just one meal a day, but her crop yield has nearly doubled with conservation agriculture.

"Now we eat eggs regularly and meat once a month. I can finally have savings," she said.

Despite its benefits, the concept was alien to many farmers when the FAO introduced it in West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara, two eastern provinces with high food insecurity, low rainfall and weak agricultural productivity, said Ageng Herniato, the agency´s assistant representative in Indonesia.

"The biggest challenge we faced was changing their mindsets," Herniato said. Conventional farming requires heavy soil preparation and burning of unwanted biomass, which releases the carbon stored in it, contributing to climate change - none of which happens with conservation agriculture.

The FAO partnered with the Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, and used demonstration plots to show farmers the new approach.

It has now been taken up by nearly 13,000 farmers, and the FAO is working with the Indonesian government to incorporate it into national agricultural policy, the U.N. agency said.

Challenges
Yet challenges remain, especially because many farmers are so used to conventional practices.

The FAO provided Pemongkong villagers with high-quality composite maize seeds produced through open pollination, which can be reused several times and perform better during extreme weather conditions, said Herniato.

Yet Hamdi, who enjoyed two successful planting seasons, has no seeds left. He sold them all, partly because the price of maize was so good, and partly because he was worried yields would fall if he continued to use composite seeds.

For the coming season, he plans to revert to hybrid seeds, which cost between 50,000 and 65,000 rupiah ($3.76-$4.89) per kilo. Farmers say about 30 kg are needed per hectare.

"With hybrids, I know I will have to buy them every year and I will spend more money," he said. "But hybrids are easier to find in the market and more resistant to pests."

This highlights how much needs to be done for farmers to grasp the pros and cons of different seed varieties, said FAO advisor Weatherson, who practices conservation agriculture in Swaziland where he lives.

Hybrid seeds have very high yield potential but require irrigation, or at least predictable rainfall and good fertilisation, he said.

"I think what the farmers need more than anything else is... to be given all the technical advice they need to be able to make informed decisions," he said. ($1 = 13,303.0000 rupiah)