Kadistan dari NTT `Curhat` Budi Daya Ubi Kayu Nuabosi pada BBPP Ketindan

Indonesia`s BBPP Ketindan Support Developing Cultivation of Cassava in Flores

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


Kadistan dari NTT `Curhat` Budi Daya Ubi Kayu Nuabosi pada BBPP Ketindan
Kepala BBPP Ketindan, Adang Warya (kanan) turut mendampingi Mentan Andi Amran Sulaiman (kemeja putih) pada kuliah umum di Unair Surabaya (10/11), dan diskusi dengan Kadistan dari NTT di Ketindan (Foto2: Humas BBPP Ketindan/Yeniarta MM)

Malang, Jawa Timur (B2B) - Kelezatan ubi kayu nuabosi atau uwi ai nuabosi yang berasal dari Dataran Ndetundora di Kabupaten Ende, Flores tidak hanya tenar di Nusa Tenggara Timur (NTT) namun hingga ke luar provinsi, namun petani di Flores mulai enggan melakukan budi daya singkong nuabosi karena waktu panen harus menunggu masa tanam 10 bulan hingga satu tahun sehingga dinilai tidak ekonomis.

Hal itu dikemukakan oleh kepala dinas pertanian dan tanaman pangan dari empat kabupaten di Flores, NTT saat audiensi dengan Kepala Badan Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan, Adang Warya di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur belum lama ini.

Mereka adalah Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Flores Timur, Antonius Wukak Sogen; Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Hengky Sali; Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo, Wolfgang Lena; dan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Ende, Marianus Alexander.

Marianus Alexander mengatakan ubi nuabosi terdiri atas lima varietas, waitero (ubi kayu kuning), waibara (ubi kayu putih), toko rheko, tana ai dan terigu. Masing-masing varian tersebut secara turun temurun telah dibudidayakan oleh petani petani dan telah menjadi jenis yang stabil dan seragam bila dipisahkan dengan varian lainnya.

"Dari lima jenis varietas lokal yang terdapat di daerah Nuabosi, ternyata varietas terigu, tana ai dan toko rheko adalah jenis yang ditanam lebih luas dibandingkan dengan varietas lainnya," kata Marianus.

Seperti halnya Marianus, ketiga koleganya dari Flores mengharapkan dukungan BBPP Ketindan tentang budi daya ubi nuabosi dan pengolahan hasil panen sehingga dapat memberi nilai tambah bagi petani mereka, dan bukan sekadar untuk dikonsumsi atau dijual ke pasar lokal.

Tampak hadir para petinggi BBPP Ketindan antara lain Kepala Bagian Umum, Tri Agustin Wurdjaningsih; Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelatihan, Mafruhah; Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan Rumah Tangga, Astutingsih.

BBPP Ketindan
Adang Warya mengatakan dalam menghadapi era globalisasi dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di bidang pertanian maka BBPP Ketindan terus mengembangkan produk olahan tanaman dan obat.

"BBPP Ketindan juga memiliki fasilitas yang mendukung seperti laboratorium instalasi dan teknologi pengolahan hasil tanaman pangan, bioteknologi dan pengolahan limbah, tanaman obat, screen house hidroponik," kata Adang Warya.

Dia pun menjelaskan tentang berbagai macam produk olahan yang dihasilkan dari tanaman pangan seperti komoditas pisang yang kulitnya dijadikan kerupuk dan kripik sehingga memberi nilai tambah ekonomis bagi petani.

“Kebanyakan masyarakat usai makan pisang kulitnya dibuang. Namun di sini, melalui teknis dan pelatihan bisa jadi produk yang memiliki nilai tambah, kemudian buah pisang dijadikan dodol dan permen,” kata Adang.

Menurutnya, potensi tanaman pangan khususnya ubi nuabosi dapat dikembangkan menjadi produk makanan olahan yang ekonomis seperti halnya pisang. BBPP Ketindan siap menjalin kerjasama dengan keempat kabupaten di NTT tersebut sehingga ubi nuabosi dapat memberi nilai tambah bagi petani dan masyarakat setempat.

Staf Humas Yeniarta Margi Mulya mengatakan bahwa BBPP Ketindan berupaya menjawab tantangan era globalisasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian yang tangguh serta profesional. Tugas pokoknya melaksanakan dan mengembangkan pelatihan teknis, fungsional dan kewirausahaan di bidang pertanian bagi aparatur dan non-aparatur negara.

"BBPP Ketindan tetap melaksanakan fungsi utamanya sebagai lembaga pelatihan di bidang pertanian, tetapi memiliki spesialisasi pelatihan di bidang pertanian tanaman pangan dan tanaman obat," kata Yeniarta.

Malang, East Java (B2B) - The delicacy nuabosi cassava from Ndetundora Height in Ende district of Flores Island  is not only popular in East Nusa Tenggara (NTT) but to outside of province, however local farmers are reluctant to plant nuabosi cassava, because the harvest must awaiting planting period 10 months to a year so it is considered uneconomical.

It was revealed from the meeting the head of the department of agriculture of the four districts in NTT when they met the Director of Indonesia´s Ketindan Agricultural Training Center (BBPP Ketindan) Adang Warya here recently.

They are head of agricultural bureau of East Flores district, Antonius Wukak Sogen; head of agricultural bureau of Sikka district, Hengky Sali; head of agricultural bureau of Nagekeo district, Wolfgang Lena; and head of agricultural bureau of Ende district, Marianus Alexander.

Mr Alexander said there are five varieties of cassava nuabosi namely waitero (yellow cassava), waibara (white cassava), toko rheko, tana ai and terigu. Each variety has been cultivated by farmers, and cassava relatively stable after being separated from the other varieties.

"Of the five types of local varieties in Nuabosi the varieties of wheat, ai tana and store rheko with planting area wider than the other varieties," he said.

As with Marianus, the three colleagues from Flores expects support of the BBPP Ketindan about nuabosi cassava cultivation and post-harvest handling, thus giving value added to local farmers, and not just for consumption or sale to local markets.

Agriculture Training Center
Mr Warya said to facing the globalization and increasing agricultural human resources, BBPP Ketindan developing processed products and medicinal plants.

"The Ketindan also has facilities such as a laboratory installations, processing technology of food crops, biotechnology, waste processing, medicinal plants, screen house for hydroponics," he said.

He also explained about various kinds of processed products from food crops such as banana bark that is processed into crackers and chips that have value added.

He also explained about various kinds of processed products from food crops such as banana bark that is processed into crackers and chips that have added value.

"Most people will tossed the peelings after eating a banana, but here, BBPP Ketindan cultivate banana peel into sweets and candies," Mr Warya said.

According to him, the potential of food crops such as nuabosi cassava could be developed into products processed foods such as bananas. BBPP Ketindan ready to work together with the four districts in NTT province, so that nuabosi cassava provide value added for farmers and local people.

BBPP Ketindan spokeswomen, Yeniarta Margi Mulya said  that it seeks to answer the challenges of globalization to improve the quality of human resources of agriculture with the main task developing technical training, functional and business in agriculture for civil servants and the public.