Ditjen Hortikultura Kembangkan 32 Zonasi Bawang Merah di Seluruh Indonesia
Indonesian Govt Developing Shallots Production Center in 32 Districts
Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Jakarta (B2B) - Pemerintah RI melalui Kementerian Pertanian selama 2016 mengembangkan zonasi produksi bawang merah di 32 kabupaten dan pada 2017 akan melebar ke Pulau Kalimantan dan Kepulauan Maluku sebagai buffer zone di Kawasan Timur Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan antisipasi panjangnya rantai pasok dan biaya transportasi sebagai pemicu utama lonjakan harga di tingkat konsumen.
"Ke depan, saya diminta Menteri Pertanian untuk mengembangkan zonasi di Kalimantan, Maluku untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat dan hingga ke Papua. Pak menteri ingatkan kami untuk menghemat biaya transportasi dengan mendekati konsumen, agar daerah lain tidak lagi tergantung pada pasokan bawang merah dari Pulau Jawa," kata Direktur Jenderal Hortikultura, Spudnik Sujono kepada B2B di kantornya pada Jumat (9/12).
Zonasi untuk Pulau Sumatera dikembangkan di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara kemudian Provinsi Sumatera Barat di Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Kerinci di Provinsi Jambi dan Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung.
Sementara di Pulau Kalimantan dirintis di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Provinsi Kalimantan Selatan. Setidaknya hal itu menjawab instruksi Mentan Andi Amran Sulaiman saat rapat koordinasi pangan di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada 12 Oktober lalu. "Saya tidak ingin lagi mendengar masih ada kapal dari Brebes pengangkut bawang merah sandar di Balikpapan."
Usulan Anggaran
Dalam pertemuan dengan para kepala dinas pertanian tingkat kabupaten/kota di seluruh Kalimantan, Mentan menyatakan telah menerima usulan alokasi anggaran Rp90,7 miliar untuk pengembangan zonasi cabai dan bawang merah di Kalimantan. Usulan terbesar dari Kalimantan Tengah sebesar Rp26,8 miliar dan terendah adalah Kalimantan Utara hanya Rp3,9 miliar.
"Usulan anggaran Rp90,7 miliar akan kami pelajari dan disesuaikan dengan anggaran pertanian dari APBN. Kalau perlu lebih, asalkan Kalimantan mampu swasembada cabai dan bawang merah," kata Mentan.
Spudnik Sujono menambahkan zonasi terbanyak adalah di Pulau Jawa yang tersebar 18 kabupaten, untuk Provinsi Jawa Barat di enam kabupaten yakni Bandung, Garut, Majalengka, Indramayu, Cirebon dan Kuningan. Tujuh kabupaten di Jawa Tengah yakni Demak, Brebes, Tegal, Pemalang, Pati, Kendal, dan Grobogan. Lima kabupaten di Provinsi Jawa Timur: Malang, Probolinggo, Bojonegoro, Banyuwangi dan Nganjuk.
Pasokan dari Kabupaten Bangli diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen di Provinsi Bali didukung pasokan dari empat kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB) yakni Bima, Lombok Timur, Sumbawa dan Dompu untuk memenuhi kebutuhan setempat hingga ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Sementara zonasi di Sulawesi berada pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yakni Enrekang, Bantaeng, dan Soppeng untuk memenuhi kebutuhan konsumen setempat hingga Maluku dan Papua ditambah dari NTB apabila kebutuhan meningkat pada waktu-waktu tertentu," kata Spudnik Sujono yang didampingi Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Yanuardi MM.
Luas Tambah Tanam
Ditjen Hortikultura memperkirakan pasokan bawang merah pada Desember 2016 dan Januari 2017 akan surplus 26.385 ton dan 11.776 ton dari total produksi 108.554 ton dan 107.417 ton.
Hal itu didukung luas tambah tanam pada September 2016 mencapai 9.359 hektar, 13.293 hektar pada Oktober 2016, 11.714 hektar pada November 2016 dan Desember 2016 mencapai 12.100 hektar dengan produktivitas 10,5 ton per hektar.
Sementara hasil produksi pada November 2016 mencapai 98.644 ton, dan perkiraan produksi Desember 2016 mencapai 140.108 ton sebagai hasil kumulatif penanaman Juli hingga September 2016, dan perkiraan produksi Januari 2017 sekitar 127.534 ton.
"Pencapaian surplus produksi berkat dukungan mitra pemerintah di sentra produksi bawang merah di seluruh Indonesia, khususnya pada saat kebutuhan konsumen meningkat di hari besar keagamaan dan hari libur nasional, dengan menggandeng mitra dari kelompok tani bawang, karena peranan mereka sangat vital untuk memangkas rantai pasok yang menjadi pemicu kenaikan harga di pasar," kata Spudnik.
Jakarta (B2B) - Indonesian government through Agriculture Ministry in 2016 has developed shalltos production centers in 32 districts and will expand to Borneo Island and Maluku Islands next year as the buffer zone in eastern Indonesia, for improve welfare of farmers and the anticipation of the supply chain and expense transport which often trigger price increases in consumer level.
"Looking ahead, I was asked by agriculture ministry for developing zonation in Kalimantan and Maluku for meet the needs of local people and Papua. Mr Minister remind us to save on transportation costs by close to consumers, so that other regions do not depends on supply of Java Island," said Director General Horticulture, Spudnik Sujono to the B2B in his office here on Friday (9/12).
Zoning for Sumatera Island developed in Simalungun district of North Sumatra province, West Sumatra province in Solok and South Solok district, Kerinci district in Jambi Province and will developing in Tanggamus district of Lampung Province.
While in Borneo Island has been initiated in Hulu Sungai Selatan district of South Kalimantan province. At least it answered instruction of Agriculture Minister Andi Amran Sulaiman in Balikpapan of East Borneo province in food coordination meeting on October 12. "I do not want to hear there are still ships from Brebes docked in Balikpapan."
The Budget Proposal
In a meeting with head of agricultural bureau across Borneo, Minister Sulaiman admitted that he got proposal about budget allocation 90.7 billion rupiah for developing zonation chili and shallots in Borneo. Proposed of Central Borneo province of 26.8 billion rupiahs as the highest, and the lowest is North Borneo is only 3.9 billion rupiah.
"The proposed budget of 90.7 billion rupiah will we learn and adjust to the agricultural budget of the state budget. If necessary be higher on condition afford self-sufficiency of chili and shallots," Mr Sulaiman said.
Mr Sujono added zonation in Java Island scattered in 18 districts, for West Java province in six districts such as Bandung, Garut, Majalengka, Indramayu, Cirebon and Kuningan. Seven districts in Central Java province namely Demak, Brebes, Tegal, Pemalang, Pati, Kendal, and Grobogan. Five districts in East Java province: Malang, Probolinggo, Bojonegoro, Banyuwangi and Nganjuk.
Supply of Bangli district expected to fulfill consumer needs in Bali provice, who was also supported by supply from four districts in West Nusa Tenggara province namely Bima, East Lombok, Sumbawa and Dompu to meet local needs including in East Nusa Tenggara province.
"While zonation in Sulawesi scattered in three districts of South Sulawesi Province namely Enrekang, Bantaeng, and Soppeng to meet the needs of local consumers until Maluku and Papua plus of Nusa Tenggara Barat if consumer needs increases in certain times," said Mr Sujono who was accompanied by Director of Vegetable and Medicinal Plants, Yanuardi MM.
The Planting Area
Directorate General of Horticulture estimate supply of shallots in December 2016 and January 2017 will be a surplus of 26,385 tonnes and 11,776 tonnes, of total production of 108,554 tonnes and 107,417 tonnes.
It was supported by the expansion of arable land in September 2016 reached 9,359 hectares, 13,293 hectares in October 2016, 11,714 hectares in November 2016 and December 2016 reached 12,100 hectares with a productivity of 10.5 tonnes per hectare.
While production in November 2016 reached 98,644 tons, and production estimate in December 2016 reached 140,108 tonnes as a result of the cumulative planting of July to September 2016, and the estimated production of around 127,534 tonnes in January 2017.
"The surplus production because it was supported by government partners from production centers across the country, especially when the consumer needs to rise on religious holidays and national holidays, the government partnered with farmers´ groups, because their role is vital to cut the supply chain often become trigger price increases in the market," Mr Sujono said.