Media Asing Soroti Infrastruktur Buruk Picu Kenaikan Harga Pangan

Indonesia`s Infrastructure Promises Fail the Chilli Challenge

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Media Asing Soroti Infrastruktur Buruk Picu Kenaikan Harga Pangan
Petani cabai di Sukabumi (Foto: B2B/Mya)

INFRASTRUKTUR yang buruk memicu kenaikan harga kebutuhan pokok di masa panen produksi pertanian, warga miskin di pedesaan semakin terjepit akibat fluktuasi harga bahan-bahan pokok lantaran kebijakan dan janji-janji Presiden RI Joko Widodo tidak terpenuhi.

Sebagai perekonomian terbesar di Asia Tenggara tapi pertumbuhan ekonominya paling lambat dalam enam tahun terakhir, separuh dari 250 juta penduduk hidup dengan pengeluaran kurang dari US$2 per hari, kenaikan harga bahan pokok seperti beras, gula, daging sapi dan cabai.

"Pertanian bagaikan perjudian, karena kita tidak pernah tahu harga," kata pria berusia 32 tahun Rahmat, yang memiliki kebun cabai di kaki bukit Gunung Salak di Jawa Barat, sekitar 115 km di selatan ibukota, Jakarta.

Cabe merah segar menjadi makanan pelengkap utama pada sebagian besar meja makan Indonesia seperti halnya garam dan merica di beberapa negara, namun selama 12 bulan terakhir, harga cabai berfluktuasi antara Rp20.000 dan Rp80.000 rupiah ($ 1,48) per kg, meskipun Rahmat mengatakan biaya produksinya tetap, sebesar Rp10.000 rupiah/kg.

Jarak tempuh hasil pertanian dari petani ke pasar hingga sampai pada konsumen tidaklah mudah. Rahmat harus mengangkut cabainya memakai sepeda motor reyot melalui jalan desa yang berlubang, kemudian diangkut truk tanpa mesin pendingin lalu diangkut untuk dijual kepada enam pedagang di Jakarta, saat mengangkut mereka duduk di atas hasil produksi pertaniannya selama berjam-jam menempuh perjalanan yang macet.

Petani menggunakan jasa pedagang karena mereka terbelenggu utang dan transportasi yang mereka tawarkan, kata Yudi Firmansyah, seorang pedagang cabai di Sukabumi yang menyediakan sayuran untuk tiga pasar regional menggunakan  truk sewaan.

Sekitar 15% dari produksi cabai mencapai tujuan mereka tidak lagi segar untuk selera Indonesia, kata Dadi Sudiana, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia, seperti dikutip Reuters yang dilansir MailOnline.

Produksi pertanian Indonesia hampir 40 persen busuk akibat rantai pasok terlampau panjang, menurut, menurut perkiraan industri.

Presiden Widodo menjabat pada Oktober 2014 dengan janji-janji untuk memecahkan masalah tersebut dengan mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran, tapi sejauh ini pemerintahannya dinilai gagal untuk memanfaatkan anggaran sebesar US$22 miliar untuk pembangunan proyek-proyek vital akibat kurangnya koordinasi antarkementerian.

Presiden Jokowi yang menurut survei, peringkat dukungannya merosot dari 72% menjadi hanya 41% pada Juli, telah berjanji untuk membangun lebih banyak bendungan, memodernisasi sistem irigasi, meningkatkan areal tanam untuk makanan dan menyediakan akses mudah kredit bagi petani kecil.

Rahmat mengaku memanfaatkan hujan atau mengisi ember dan botol plastik kecil di sungai terdekat untuk mengairi tanamannya. Hal ini dapat memakan waktu hingga satu minggu kerja hanya untuk mengairi satu hektar tanaman.

Dia mengatakan dia belum mendapatkan bantuan selama pemerintah di bawah Widodo.

"Pemerintah harus meningkatkan infrastruktur irigasi," kata Sudiana dari asosiasi. "Ketika musim hujan datang cabe kita tanam, tetapi ketika musim kemarau tiba kita tidak memiliki pilihan lain selain  mengurangi tanaman kami."

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan 2 triliun rupiah (US$145 juta) telah dialokasikan tahun ini untuk membangun bendungan di daerah yang terdampak kekeringan dan proyek tersebut tengah berlangsung.

POOR INFRASTRUCTURE makes stable pricing difficult at the best of times in Indonesia, but the rural poor are increasingly pinning the blame for wild fluctuations in the price of staples on the policies and unmet promises of President Joko Widodo.

With Southeast Asia´s biggest economy growing at its slowest pace in six years, and half its 250 million population living on less than $2 a day, price spikes on foods such as rice, sugar, beef and chillies can be devastating.

"Farming is like gambling, because we never know the price," said 32-year old Rahmat, who farms chillies on the foothills surrounding Mount Salak in West Java, about 115 km (70 miles) south of the capital, Jakarta.

Fresh red chillies are as common on Indonesian dinner tables as salt and pepper in some countries, but over the last 12 months, prices have fluctuated between around 20,000 and 80,000 rupiah ($1.48) per kg, though Rahmat says his production costs have remained at just 10,000 rupiah/kg.

Their journey to table explains much of the volatility. Rahmat´s chillies are carried on rickety motorbikes across potholed dirt tracks, then loaded onto unrefrigerated flatbed trucks and bought and sold by up to six traders en route to Jakarta, where they can sit in the world´s most congested traffic for hours.

Farmers use traders because of the loans and transport they offer, said Yudi Firmansyah, a chilli trader in Sukabumi who supplies vegetables to three regional markets on a rented truck.

About 15 percent of chillies reach their destination spoilt or too dry for Indonesian tastes, said Dadi Sudiana, chairman of the Association of Indonesian Chilli Agribusiness.

Spoilage rises to almost 40 percent of fresh fruit and vegetables, according to industry estimates.

President Widodo took office in October with promises to solve such problems with a massive infrastructure push, but so far his administration has failed to spend the $22 billion budgeted for such projects this year due to a lack of coordination among ministries.

Widodo, whose approval rating has slumped from 72 percent to just 41 percent in July, had promised to build more dams, modernise irrigation systems, increase planting areas for foods and provide easier access to credit for smallholder farmers.

To water Rahmat´s plants, he relies on rain or fills buckets and small plastic bottles at a nearby stream. It can take up to a week of one worker´s labour to water a hectare of crops.

He said he had yet to see any government help under Widodo.

"The government must boost irrigation infrastructure," said the association´s Sudiana. "When the rainy season comes we plant chillies, but when the dry season comes we have no other option than to reduce our plants."

Agriculture Minister Amran Sulaiman said 2 trillion rupiah ($145 million) had been allocated this year for dam building in dry areas and the work was ongoing.