Meluruskan `Syahadat` Antikorupsi


Meluruskan `Syahadat` Antikorupsi

 

REFLY HARUN
Pakar Hukum Tata Negara


(Ditulis dari analisis lisan pada acara Indonesia Lawyers Club di TVOne, 13 Juni 2017)

SAYA AKAN berbicara beberapa hal, terutama (soal) ´syahadat’ antikorupsi. Ini bahasanya Pak Zainal (Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada), (yang) sayang tidak datang. Dan ini adalah amanat reformasi. Yang jadi masalah (dalam ‘syahadat’ antikorupsi) adalah, apakah kita melakukan pemberantasan korupsi yang sesungguhnya, atau apakah kita ingin memberantas pemberantas korupsi?

Jangan-jangan dalam benak kita memberantas pemberantas korupsi. Jadi bukan pemberantasan korupsi lagi. Kenapa? (Bila) kita lihat kejadian-kejadian dahulu, selalu ada ketegangan, terutama antara legislatif dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Saya kira ketegangan itu terasa sampai hari ini, sampai detik ini. Itu tidak bisa kita pungkiri.

Soal lain adalah (soal) level of trust. Kalau kita bicara mengenai masalah-masalah KPK yang mengemuka sampai malam ini, sampai detik ini, kita bicara soal level of trust. Kalau level of trust KPK rendah, maka sudah habis KPK malam ini. Kenapa? Karena forumnya saja tidak imbang. Coba bayangkan, KPK seorang diri diwakili oleh Febri Diansyah (Juru Bicara KPK), berhadapan dengan partai-partai politik yang tone-nya sama semua.

Saya masih punya keyakinan bahwa sesungguhnya problem terbesar kita bukan (pada) keberadaan KPK, tapi pada problem ´syahadat’ antikorupsi kita. Kita sebenarnya tidak benar sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi, (melainkan) hanya menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai bagian dari bargaining politik yang menurut saya sampai hari ini terasa.

Rekrutmen KPK
Kita lihat rekrutmen (pimpinan) KPK. Kalau ´syahadat’ antikorupsi kita kuat maka yang dicari adalah anggota-anggota KPK yang terkuat. Tapi pada banyak rekrutmen (anggota KPK) (dan) pejabat publik lainnya, yang terjadi bukan begitu. Yang dicari titik terlemah dari orang-orang (yang dinominasikan).

Sesungguhnya politisasi rekrutmen (pimpinan) KPK sudah terjadi sejak pembentukan pansel (panitia seleksi). Prinsipnya bukan meritokrasi, tapi siapa yang (punya) ‘bargaining position’ di sana dan bisa komunikasi secara baik dengan pihak-pihak tertentu. Saya kira ´syahadat’ antikorupsi kita tidak kuat karena barangkali direction-nya tidak betul-betul seperti amanat reformasi.

Bargaining antara siapa dan siapa? Kita lihat level-nya, kalau kita bicara soal rekrutmen anggota KPK, maka yang terlibat adalah dua kekuasaan. Pertama, kekuasaan eksekutif di tangan Presiden yang membentuk pansel, yang didukung parpol-parpol. Berikutnya adalah DPR yang juga (terdiri dari) parpol-parpol. Kita tahu bagaimana ketika pembentukan pansel atau timsel sudah luar biasa politisasinya. Saya punya pengalaman, masing-masing pihak memasukkan nama dan sebagainya. Isu berseliweran. Kemudian diambil Timsel Sembilan Srikandi. Jadi ada persoalan di sana.

Kenapa yang mengangkat DPR lalu yang tidak puas DPR pula? Ini anomali yang harus dijawab oleh DPR. Ini menarik dan saya bisa menjawab. KPK ada sistem dan sistem itu dijaga oleh publik, paling tidak oleh publik. DPR berusaha memperlemah KPK - mohon maaf - dengan mencari aktor-aktor yang barangkali bisa diajak bernegosiasi. Sudahlah, ini rahasia umum semua, kemarin ketika pimpinan KPK sudah mau dipilih, pemilihan pimpinan KPK itu penuh dengan negosiasi di belakang layar. Saya pun sudah mendengar Paket A, B, C, dan itu dimasukkan (dalam) bargaining oleh DPR.

Namun, ketika mereka terpilih, katakanlah mereka lini paling lemah dari yang dinominasi, mereka berhadapan dengan tuntutan publik agar KPK berprestasi dalam pemberantasan korupsi. Maka, mau tidak mau, (KPK) harus kembali ke mandatnya, yakni tiga hal: pejabat negara, penegak hukum, dan orang-orang yang terkait dengan dua hal tersebut.  Siapa yang disasar oleh KPK? Bukan orang-orang seperti kita. Sudah pasti orang-orang yang terlibat kekuasaan, lembaga-lembaga publik, dan penegak hukum.

Tidak ada yang suka kalau dilakukan penyelidikan/penyidikan oleh KPK. Tidak ada yang suka partainya diutak-atik. Tidak ada yang suka namanya disebut, parpolnya disebut. Kita akan setuju pada pemberantasan korupsi sampai kemudian akhirnya nama kita pun disebut. Ketika nama kita disebut maka pemberantasan korupsi (dianggap) tidak benar. Padahal, sampai saat ini menurut catatan saya, KPK masih lebih baik dari lembaga (penegak hukum) lain.

Saya (termasuk) yang mengkritik rekrutmen (anggota KPK sekarang) (karena timsel, hasil dari timsel, dan hasil dari DPR bukan yang terbaik). (Hanya) yang ingin saya apresiasi dari KPK, (kendati) selalu ada persoalan-persoalan seperti itu, yang dipilih adalah titik terlemah dari mereka yang drekrut melalui timsel itu, KPK memiliki sistem internal yang lumayan agak kuat. Siapa pun yang masuk di sana, karena sistemnya lumayan berjalan untuk pemberantasan korupsi, maka ada prestasi-prestasi yang bisa kita apresiasi. Saya kira sistem seperti itu berjalan.

(Karena itu) saya kira bukan persoalan KPK (kalau) kita ingin melakukan audit pemberantasan korupsi.  Justru kita harus sasar bagaimana kepolisian dan kejaksaan. Kalau pemberantasan korupsi didasarkan pada KPK saja, tidak akan kuat KPK. KPK seperti Dewi (Keadilan) yang membawa satu pedang dan menebas ke sana kemari dan akhirnya kelelahan, karena begitu banyak kasus korupsi dan itu tidak gampang menanganinya.

Saya heran DPR tidak mensasar saja kepolisian dan kejaksaan. Kalau ada jaksa yang masih (kena) OTT (operasi tangkap tangan), ada polisi yang masih terlibat kasus korupsi, harusnya reaksi keras dari DPR untuk melihat bagaimana governance kedua institusi penegak hukum tersebut. Tapi (yang terjadi), KPK salah sedikit saja langsung digebukin ramai-ramai.  Padahal, pemberantasan korupsi kalau kita tidak mengandalkan tiga pilar ini tidak akan pernah berhasil dari sisi law enforcement-nya, (walaupun) dari sisi kepemimpinan tetap harus ada Presiden yang memimpin.

Pelemahan, Bukan Penguatan
Saya tidak pernah melihat ada sejarah penguatan institusi KPK. Kalau kita bicara mengenai anggaran, itu saya kira soal lain. Tapi penguatan yang riil itu saya tidak melihat. Justru (yang terjadi), di satu sisi kampanyenya menguatkan, tapi faktanya justru melemahkan. Misal RUU KPK, bagaimana mungkin kita percaya ada proses penguatan ketika yang muncul draf KPK hanya 12 tahun ke depan, proses penuntutan tidak di KPK lagi, penyadapan dibatasi, dan lain sebagainya.

Publik dengan common sense-nya (bisa) mengatakan tidak ada penguatan KPK. Yang ada pelemahan. Kalau melihat (dari perspektif) conspiracy theory gampang sekali (menjelaskan fenomena pelemahan tersebut), karena hingga hari ini hanya KPK yang mampu menembus relung-relung kekuasaan. Sebagai bukti misalnya kasus e-KTP. Ketika banyak anggota DPR disebut, saya kira polisi pun akan menyerah, karena polisi di bawah eksekutif. (Polisi) akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan tembok-tembok kekuasaan.

Saya juga sangat heran (bila kita menyerang KPK). Saya tidak melihat cacat luar biasa dari KPK. Misalnya dikatakan KPK kalah dua kali (di) praperadilan, saya kira bukan persoalan yang luar biasa. (Apalagi) kita tahu salah satu kasus adalah (kasus) Budi Gunawan.

Contoh lain angket KPK. Hingga hari ini saya tidak melihat alasan yang sangat substantif kalau kita kaitkan dengan Pasal 79 (UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD) untuk melakukan angket. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara mengatakan bahwa angket itu error dalam hal subjek dan objek, dan saya setuju itu.

Dari sisi subjek, (saya) berbeda dengan Bang Ahmad Yani (anggota DPR 2009-2014). Ada istilah father syndrome, kalau pembuat undang-undang kan selalu mengklaim, "saya tahu betul, saya paham betul, dan lain sebagainya." Padahal, undang-undang itu begitu sudah diketok palu, sudah disetujui, dan sudah disahkan, maka open to public interpretation. Salah satu metode interpretasi paling gampang adalah metode tekstual. Di situ jelas dikatakan, yang bisa diangket adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan/tindakan pemerintah. Ditambah lagi (perkataan) yang penting, strategis, dan berdampak. Jadi tidak sembarangan saja.

Jadi subjek dan objeknya spesifik. Eksekutif itu bisa tindakan presiden, bisa wapres, bisa polri, bisa kejaksaan, bisa kementerian, dan bisa lembaga-lembaga nonkementerian. (Ini) dipaksakan untuk mengangket KPK. Saya tidak melihat apa kira-kira pelaksanaan undang-undang oleh KPK yang dianggap bertentangan atau apa tindakan KPK yang dianggap melanggar hukum, karena hak angket harus spesifik. Bukan mengaudit kinerja KPK, karena kalau itu bukan kerjaan DPR. Kalau audit keuangan (KPK) (itu kerjaan) BPK. Audit (kinerja) (urusan) internal, dan sebagainya.

Dalam hal angket dan ketegangan KPK-DPR, saya tidak melihat ada kekuasaan politik yang mem-back up KPK. Satu-satunya andalan KPK (adalah masyarakat) karena KPK lemah sesungguhnya. Kalau tidak di-back up masyarakat, kalau tidak didukung akademisi, tidak di-back up media massa, maka (KPK lemah) (karena) dia tidak memiliki sandaran kekuasaan apa pun. Semua parpol ingin KPK lemah. Walaupun bahasanya menguatkan, tapi kita kan berdasarkan fakta-fakta politik yang ada. Coba tunjukkan kepada saya, ada satu inisiasi yang ingin memperkuat KPK. Yang ada, semuanya ingin memperlemah.

Membatalkan Angket
Bagaimana sebaiknya sikap KPK menghadapi angket ini? Saya melihat ada pilihan-pilihan bagi KPK. Pertama yang paling ekstrem adalah tidak hadir. Dari tidak hadir ini ada dua varian: tidak hadir dan cuek saja, dan saya termasuk yang tidak setuju karena itu tidak menghargai sebuah proses hukum. Lalu tidak hadir dan kemudian membawa masalah ini ke ranah hukum, agar angket itu dibatalkan.

Hanya dua cara membatalkan angket. Pertama, balik lagi ke paripurna lalu dibatalkan penggunaan hak angket, atau menggunakan instrumen hukum atau pengadilan. Masalahnya instrumen hukum apa yang bisa digunakan. Saya termasuk yang mengatakan seharusnya Mahkamah Konstitusi bisa menyelesaikan ini. Kenapa? Karena dari sisi objeknya itu adalah hak angket, hak konstitusional, kemudian lembaga yang menggunakan adalah lembaga DPR. KPK sebenarnya masih bisa ditafsirkan sebagai lembaga konstitusional karena ada dikatakan badan-badan hukum lainnya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.

Maka pertanyaannya, constitutional question-nya, adalah apakah penggunaan hak angket kepada KPK ini konstitusional atau tidak. Mudah-mudahan MK mau menyelesaikannya. Saya yakin, kalau Pak Mahfud MD ketuanya maka selesai ini barang. Saya tidak tahu (bagaimana) MK yang sekarang. The Constitutional breakthrough seperti itu harus ada, karena banyak sekali soal yang tidak bisa diselesaikan. Contoh lain adalah (soal) legalitas pimpinan DPD. Sampai sekarang belum ada institusi yang mampu menyelesaikannya, dan itu saya kira jadi persoalan.

Sikap kedua dari KPK, (kalau) tadi hadir, maka yang kedua adalah  tidak hadir sambil menunggu proses hukum itu selesai. Atau  tidak hadir, (tetapi) tidak menggunakan proses hukum. (Yang terakhir) saya tidak setuju juga karena itu tidak menghargai proses hukum. Jadi (pilihannya) hadir (dengan) tetap menggunakan proses hukum atau tidak hadir (sambil) menggunakan proses hukum. Kalau saya bisa appeal, saya mengatakan ´tidak hadir´ tapi gunakan proses hukum untuk men-challenge apakah penggunaan hak angket tersebut benar atau tidak menurut undang-undang dan konstitusi. Saya (sendiri) mengatakan (penggunaan hak angket) banyak cacatnya. Dari hulunya cacat, kemudian soal subjek dan objeknya juga cacat.

Pembekuan Parpol
Terakhir, kalau kita bicara persoalan besar pemberantasan korupsi di republik ini, kita hanya bicara tentang orang satu-satu saja, si A, B, C, D. Padahal, korupsi yang terberat dalam era demokrasi adalah korupsi yang mungkin dilakukan oleh kekuatan besar. Salah satunya parpol. Kita belum pernah punya story untuk mensasar korupsi yang dilakukan parpol. Seharusnya ke depan, harus ada legal breakthrough, kalau korupsi itu melibatkan parpol (misalnya fund raising), melibatkan elite-eltie parpol yang dimaksudkan  untuk fund raising, maka parpol tersebut harus bisa dibekukan, misalnya dalam jangka waktu lima tahun. Kalau dibubarkan, saya mengatakan itu tidak bisa karena kewenangan MK (yang telah) dirumuskan di (UUD 1945) dan undang-undang, bahwa (bila) asas, dasar, program, kegiatan parpol bertentangan dengan UUD 1945, (parpol tersebut bisa dibubarkan). Kalau parpol melakukan kegiatan koruptif fund raising, apalagi menjelang pemilu, hukumannya adalah di-banning (untuk waktu tertentu).

Kalau itu terjadi dan diusulkan DPR, barulah saya (dapat) mengapresiasi bahwa ´syahadat’ antikorupsi DPR benar-benar berada di jalan yang lurus.***

Penulis Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara
Mengajar di Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM (Yogyakarta), Universitas Esa Unggul (Jakarta), Universitas Syekh Yusuf (Tangerang),  dan Universitas Andalas (Padang)

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis