Ditjen PKH Kementan dan Mitra Gelar Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia
Indonesian Govt Seeks to Raise Awareness of Antimicrobial Resistance

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani
Sabtu, 23 November 2019
Peluncuran ´Materi Komunikasi Informasi dan talk show Pengendalian Laju Resistensi Antimikroba di Bogor [Foto: Humas Ditjen PKH Kementan]

Bogor, Jabar [B2B] - Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance [AMR] menjadi salah satu ancaman terbesar kesehatan global, tidak hanya pada kesehatan manusia, juga pada kesehatan hewan. Setiap tahun 700.000 orang meninggal akibat infeksi yang resisten terhadap antimikroba dan banyaknya hewan ternak yang mati akibat tidak mampu mengendalikan infeksi.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan - Kementerian Pertanian RI [PKH Kementan] I Ketut Diarmita mengatakan antibiotik merupakan salah satu jenis antimikroba yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat di sektor peternakan, pertanian, dan perikanan serta di masyarakat mempercepat laju resistensi bakteri menjadi kebal [superbugs].

"Tanpa adanya upaya pengendalian global, AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, melampaui penyakit jantung, kanker dan diabetes serta dapat menimbulkan krisis ekonomi global," kata Dirjen Ketut Diarmita dalam sambutan tertulis yang dikutip Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif pada peluncuran ´Materi Komunikasi Informasi dan talk show Pengendalian Laju Resistensi Antimikroba di Bogor, belum lama ini.

Menurutnya, di sektor peternakan, ancaman AMR tidak hanya mengancam keberlangsungan kemampuan dalam mengendalikan penyakit infeksi pada ternak, akan tetapi juga sangat mengancam ketahanan pangan terutama produktivitas sektor peternakan dalam menyediakan sumber pangan hewani bagi masyarakat.

Sebelumnya, pada Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia [World Antibiotic Awareness Week/WAAW] pada 18 November 2019, Ditjen PKH Kementan bersama FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases [ECTAD] dan USAID Indonesia merangkai berbagai kegiatan kolaborasi dengan pemerintah daerah, institusi akademisi dan sektor swasta di tiga kota: Bogor, Lampung, dan Surabaya.

“Tujuannya unuk memperkuat kesadaran akan bahaya nyata dari AMR dan menyuarakan penggunaan antibiotik dan antimikroba lainnya secara bijak, cerdas dan bertanggung jawab” kata Ketut.

Sementara itu Syamsul menambahkan bahwa tantangan dalam memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru harus dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab semua pihak, untuk itu semuanya harus senantiasa berupaya meningkatkan kompetensi profesional dan selalu menjaga agar antimikroba tetap efektif.

Team Leader FAO ECTAD James McGrane menambahkan bahwa pelaku usaha peternakan dan industri peternakan sangat berperan dalam solusi pengendalian laju resistensi antimikroba. 

Menurutnya, Kementan bersama FAO ECTAD dengan dukungan USAID terus menggaungkan praktik-praktik peternakan yang baik [good farming practices] dan Infection Prevention and Control [IPC], di dalamnya terdapat implementasi biosekuriti tiga zona, vaksinasi secara regular, pola hidup bersih dan sehat.

“Hal ini menjadi solusi pengurangan penggunaan antimikroba di peternakan. Harapannya, dengan peternakan yang bersih dan terjaga, tercipta ternak yang sehat dan tidak mudah terkena penyakit,” kata James McGrane.


Bogor of West Java [B2B] - Indonesian Government recognized the antimicrobials are one of the most important discoveries for human life, especially to protect human health, animals, and animal welfare. But it became a double-edged blade for the world because of the threat of antimicrobial resistance or AMR after emerging bacteria immune to antimicrobial treatment, according to senior official of the agriculture ministry.

TERKAIT - RELATED