AirAsia Jatuh Lantaran Kerusakan Kontrol Kemudi, kata KNKT
Rudder Problem, Pilot Actions Led to Indonesia AirAsia Crash
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
![AirAsia Jatuh Lantaran Kerusakan Kontrol Kemudi, kata KNKT](https://www.berita2bahasa.com/images/articles/2015122z rudder problem airasia - editan.jpg)
MASALAH sistem kontrol kemudi
yang terjadi hampir 24 kali dalam waktu 12 bulan sebelumnya ditambah
dengan respon pilot 'menyebabkan kecelakaan tahun lalu dari pesawat
AirAsia di Indonesia yang menewaskan seluruh 162 orang di dalamnya, kata
peneliti mengatakan Selasa.
Dalam merilis laporan mereka, Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengatakan analisis dari
perekam data QZ8501 ini menunjukkan sistem kontrol kemudi telah
mengirimkan peringatan berulang kali kepada pilot pada penerbangan 28
Desember 2014 dari Surabaya ke Singapura.
Catatan perawatan
pesawat Airbus A320 menunjukkan bahwa masalah yang sama dengan sistem
kemudi telah terjadi 23 kali selama satu tahun sebelum kecelakaan itu,
termasuk sembilan kali pada bulan Desember. Para peneliti mengatakan
kesalahan itu disebabkan oleh solder yang retak pada kartu elektronik.
Penyidik
​​Nurcahyo Utomo mengatakan kerusakan tersebut mestinya tidak berakibat
fatal. Namun setelah keempat kalinya alarm berbunyi selama penerbangan,
kru pesawat ternyata mengabaikan rekomendasi buku pegangan dan melepas
pemutus sirkuit setelah mencoba untuk me-reset sistem, katanya.
Autopilot
kemudian menjadi terlepas, dan pesawat mulai kehilangan kendali, tapi
tidak ada gerakan terdeteksi pada kemudi pesawat itu selama sembilan
detik, katanya. Kemudian pesawat mulai menukik ke atas dengan cepat
sebelum kemudian kehilangan daya angkat dan jatuh ke Laut Jawa, seperti
dikutip Associated Press yang dilansir MailOnline.
Nurcahyo
Utomo mengatakan perekam suara menunjukkan pilot mengatakan "pesawat
jatuh," tetapi sebenarnya pesawat itu menukik naik.
"Tampaknya ada miskomunikasi antara pilot dan kopilot setelah kesalahan keempat," katanya.
Peringatan
yang sama telah terjadi tiga hari sebelum kecelakaan dengan pilot yang
sama, yang menyaksikan teknisi di bandara mengatasi masalah tersebut
dengan melepaskan pemutus sirkuit dan kemudian menggantinya, menurut
Utomo dan laporan hasil investigasi. Perekam data menunjukkan pemutus
sirkuit rupanya dilepas saat penerbangan, kata mereka.
Ruth
Simatupang, mantan penyidik ​​penerbangan Indonesia yang tidak terlibat
dengan laporan tersebut, mempertanyakan bagaimana masalah sistem kemudi
bisa terus terjadi tanpa tindakan yang tepat oleh AirAsia atau
pemerintah.
"Ini harus menjadi pertanyaan besar bagi maskapai,"
katanya, menambahkan bahwa jika pesawat telah dipelihara dengan baik,
masalah akan segera diketahui dan diperbaiki. "Dengan 23 kesalahan,
seharusnya ada peringatan keras tentang kelaikan pesawat yang
dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan."
Kontak terakhir pilot
dengan menara kontrol lalu lintas udara menunjukkan mereka tengah
memasuki badai. Mereka diminta untuk naik dari ketinggian 32.000 kaki
(9.753 meter) ke 38.000 kaki (11.582 meter) untuk menghindari ancaman
awan, tapi ditolak karena lalu lintas udara sedang padat. Empat menit
kemudian, pesawat hilang dari radar. Tidak ada sinyal marabahaya
dikeluarkan, dan peneliti mengatakan kondisi cuaca tidak memainkan peran
dalam kecelakaan itu.
Hanya 106 mayat ditemukan dari laut karena
kondisi laut dan visibilitas bawah air yang buruk yang menghambat upaya
penyelam. Kebanyakan dari mereka yang berada di pesawat tengah bertolak
dari Surabaya ke Singapura menjelang liburan Tahun Baru.
"Ada
banyak yang harus dipelajari di sini untuk AirAsia, maupun produsen dan
industri penerbangan," tweeted Tony Fernandes, CEO maskapai penerbangan
murah yang berbasis di Malaysia. "Kami tidak akan mengabaikan tragedi
ini untuk memastikan industri penerbangan belajar dari kejadian tragis
ini."
AirAsia Indonesia mengatakan dalam sebuah pernyataan telah
meningkatkan pelatihan pilot dan sistem baru yang menyediakan pemantauan
pesan secara real-time sebagai pelajaran penting bagi maskapai untuk
mengambil hikmah dari kecelakaan itu. Maskapai ini tidak memberikan
jawaban langsung ketika ditanya mengapa sistem kemudi yang rusak tidak
pernah diperbaiki.
Industri penerbangan di Indonesia terganggu
dengan masalah yang berasal sebagian besar dari ledakan wisatawan dan
maskapai penerbangan baru di negara kepulauan berpenduduk 250 juta
orang. Kekurangan pilot, buruknya pemeliharaan dan pengawasan longgar
dituding menjadi penyebab menyusul serangkaian kecelakaan mematikan
dalam beberapa tahun terakhir.
Kecelakaan jatuhnya AirAsia pada
akhir tahun menjadi peristiwa tragis bagi perjalanan udara di Asia
Tenggara, termasuk hilangnya pesawat Malaysia Airlines Penerbangan MH370
pada Maret 2014 dengan yang mengangkut 239 penumpang, dan jatuhnya
Malaysia Airlines Penerbangan MH17 empat bulan kemudian di atas Ukraina,
yang menewaskan 298 penumpang dan awak.
A RUDDER control system problem that had occurred nearly two
dozen times in the previous 12 months coupled with the pilots' response
led to last year's crash of an AirAsia plane in Indonesia that killed
all 162 people on board, investigators said Tuesday.
In releasing
their report, the country's National Transportation Safety Committee
said an analysis of Flight 8501's data recorder showed the rudder
control system had sent repeated warnings to the pilots during the Dec.
28 flight from the Indonesian city of Surabaya to Singapore.
Aircraft
maintenance records for the Airbus A320 showed that similar problems
with the rudder system had occurred 23 times during the year prior to
the crash, including nine times in December. The investigators said the
fault was caused by cracked soldering on an electronic card.
Investigator
Nurcahyo Utomo said the malfunction by itself should not have been
dangerous. But after the fourth time an alarm went off during the
flight, a crew member apparently went outside of handbook
recommendations and removed a circuit breaker to try to reset the
system, he said.
The autopilot then became disengaged, and the
aircraft began to roll, but no movement was detected on the plane's
manual control stick for nine seconds, he said. It then began climbing
rapidly before stalling and plummeting into the Java Sea.
Utomo said the voice recorder showed the pilot said "pull down," but in fact the plane was ascending.
"It seemed that there was a miscommunication between the pilot and co-pilot after the fourth fault," he said.
The
same warnings had occurred three days before the crash with the same
pilot, who witnessed a technician on the ground addressing the problem
by removing the circuit breaker and then replacing it, according to
Utomo and the investigation report. The data recorder showed the circuit
breaker was apparently removed during the flight, they said.
Ruth
Simatupang, a former Indonesian aviation investigator who was not
involved with the report, questioned how the rudder system problems
could have continued without any proper action by AirAsia or the
government.
"It should be a big question for the airline," she
said, adding that if the plane had been properly maintained, the problem
would have been flagged and repaired. "With the 23 faults, there should
have been a strong warning about the plane issued by the Transportation
Ministry."
The last contact the pilots had with air traffic
control indicated they were entering stormy weather. They asked to climb
from 32,000 feet (9,753 meters) to 38,000 feet (11,582 meters) to avoid
threatening clouds, but were denied permission because of heavy air
traffic. Four minutes later, the plane dropped off the radar. No
distress signal was issued, and investigators said weather conditions
did not play a role in the crash.
Only 106 bodies were recovered
from the sea due to rough conditions and poor underwater visibility that
hampered divers' efforts. Most of those on board were Indonesians
headed to Singapore ahead of the New Year holiday.
"There is much
to be learned here for AirAsia, the manufacturer and the aviation
industry," tweeted Tony Fernandes, chief executive of the Malaysia-based
budget carrier. "We will not leave any stone unturned to make sure the
industry learns from this tragic incident."
AirAsia Indonesia
said in a statement that more pilot training and a new system that
provides real-time monitoring of aircraft warning messages have been
initiated as a result of the crash. The airline gave no direct reply
when asked why the faulty rudder system was never fixed.
Indonesia's
aviation industry has been plagued with problems stemming largely from
the explosion of travelers and new airlines in the archipelago of 250
million people. Pilot shortages, shoddy maintenance and poor oversight
have all been blamed following a string of deadly accidents in recent
years.
The AirAsia crash came at the end of a particularly tragic
year for air travel in Southeast Asia, including the mysterious
disappearance of Malaysia Airlines Flight 370 in March 2014 with 239
people aboard, and the downing of Malaysia Airlines Flight 17 four
months later over Ukraine, which killed all 298 passengers and crew.