Omnibus Law
Permudah Legalitas Usaha dan Koperasi?
Adipati Edonizar
Pemerhati Masalah Sosial
SAAT INI kondisi perekonomian Indonesia masih tertekan oleh dampak pandemi Covid-19. Meskipun usaha mikro, kecil dan menengah [UMKM] tetap menggeliat.
Bisnis dan manufaktur masih berjalan meski tertatih-tatih terganjal aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar [PSBB] yang diterapkan pemerintah pusat dan daerah. Pasalnya, kapasitas produksi tidak sebanding dengan hasil penjualan.
Dampak ekonomis dan sosial seperti para pekerja yang saat ini masih dirumahkan, pemberian upah kepada para pekerja yang belum stabil, berkelindan dengan masalah sosial di masyarakat terutama masalah penggangguran.
Dalam kegelisahan dan tidak tahu kepada siapa harus berharap agar mampu bertahan, publik dibikin runyam dengan kabar pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin malam, 5 Oktober lalu melalui Rapat Paripurna DPR RI.
Gejolak aksi masa di berbagai daerah yang melibatkan konsolidasi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat [LSM], organisasi buruh dan para pekerja, aktivis, serta organisasi masyarakat dari berbagai elemen lainnya membuat kondisi menjadi terlihat ´seolah-olah´.
Provokasi melalui media sosial, dugaan penyusupan dari kelompok-kelompok tak bertanggung jawab membuat situasi semakin memanas.
Psikologis yang mulai lemah, beban keluarga yang semakin bertambah, dan jiwa-jiwa yang mulai dilanda gundah akibat PSBB selama pandemi yang hanya membuat resah tiba-tiba dengan mudah tersulut dan meronta tanpa dibarengi kesadaran literasi yang masih rendah.
Lantas, apa yang akhirnya didapat setelah mengeluarkan pendapat dengan cara-cara yang malah menjadi penghambat?
Jangan gundah! Kita tidak sedang kalah. Jangan dulu marah! Omnibus Law bisa jadi akan membuat kita lebih mudah menatap masa depan. Banyak sekali orang bilang dan mengeluh dengan birokrasi negeri ini yang terkesan berbelit-belit, lama, dan hanya menyulitkan.
Omnibus akan memangkasnya, terutama untuk masyarakat kecil yang ingin membuat usaha baru dengan legal. Perizinan semakin dipermudah, prosedur rumit dipangkas, yang diperlukan hanyalah mendaftar.
Pembentukan PT atau perseroan terbatas juga dipermudah karena tidak akan ada lagi pembatasan modal minimum.
Pembentukan koperasi juga lebih mudah. Syarat jumlah anggota minimal sembilan orang, koperasi sudah bisa dibentuk.
Kemudahan lain yang diberikan pemerintah pada pelaku usaha di UU Cipta Kerja yakni sertifikasi makanan halal yang tentunya akan semakin menambah nilai jual hasil produksi para pengusaha kecil, terutama dalam situasi di tengah pandemi saat ini. Sertifikasi halal dalam jangka panjang akan turut mendukung Program Industri Halal Indonesia.
Lantas bagaimana bisa kemudian banyak yang berpendapat bahwa regulasi anyar ini tidak pro-rakyat. Bikin sengsara rakyat. Menyudutkan kaum buruh.
Coba lihat dari sudut pandang lain. Lakukan cross-check informasi dari sumber terpercaya ketika mendengar berita baru.
Lalu apa lagi? Masalah korupsi yang selalu menjadi tuntutan utama dalam berbagai demonstrasi? Masih memiliki kaitan erat dengan perizinan, korupsi kecil tidak jarang dilakukan pada hal kecil seperti administrasi perizinan yang kita fikir sebagai masalah ´remeh-temeh´.
UU Cipta Kerja mendukung upaya pemberantasan korupsi. Ini jelas karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan mengintegrasikan sistem perizinan secara elektronik maka pungutan liar dapat dihilangkan.
Bukankah hal-hal seperti ini yang memang masyarakat inginkan? Tidak akan ada lagi cerita bahwa segala bentuk hal-hal yang bersifat administratif dipungut biaya tambahan oleh oknum.
Contoh kecil perihal perizinan ini hanyalah sekelumit dari drama Omnibus-Law yang menyebabkan banyak kekacauan akibat provokasi yang berujung kegundahan serta keresahan dalam masyarakat.
Ayo, kita mulai berfikir lebih logis lagi dan meningkatkan literasi demi terciptanya stabilitas nasional dan keamanan serta kenyamanan di negeri sendiri.
Infografis: Indonesiabaik.id
Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis