Irlandia Bingung Banyak Uang
Indonesia Bingung Banyak Utang

ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar
SAYA mau cerita, ada negara bingung kebanyakan uang. Duitnya melimpah. Sementara ada negara justru sebaliknya. Bingung bayar utang. Utang menumpuk.
Sahur sudah selesai, yok kita bahas negara yang bingung gunakan cuan yang bejibun itu.
Itulah negara Irlandia, Eropa. Negeri kecil dengan populasi tak lebih banyak dari jumlah pengikut selebgram Indonesia.
Irlandia tiba-tiba mendapati diri mereka tenggelam dalam lautan uang. Surplus anggaran 25 miliar euro, sekitar 430 triliun rupiah.
Duit berlimpah. Mencapai level di mana pemerintahnya kebingungan, “Ini duit mau diapakan?”
Saking banyaknya uang, Irlandia bisa saja membangun jalanan dari emas, mendanai pembuatan sequel baru Titanic, atau menyewa Coldplay buat konser tiap minggu di alun-alun Dublin.
"Bang, 430 triliun, masih kalah dengan korupsi di Pertamina, 968,5 triliun," celetuk Matasam.
"Ente ni, jangan nak nyinggung gitu. Lagi puasa ni."
Lanjut, wak! Dari mana sumber rezeki Irlandia? Tentu saja, pajak dari raksasa-raksasa teknologi dunia. Apple, Google, Meta, mereka semua beroperasi di sana, membayar pajak dengan santai, lalu pergi bersiul-siul sambil meraup keuntungan global.
Pajak-pajak ini mengalir seperti air mancur di taman istana, menyirami ekonomi Irlandia hingga subur makmur. Pengangguran rendah, inflasi terkendali, dan negara ini sekarang punya PR, mencari cara kreatif untuk membelanjakan duit.
Mereka berencana membangun infrastruktur, perumahan, energi, transportasi, dan entah apalagi yang bisa dibeli dengan triliunan rupiah setara.
Lalu, di sisi lain dunia, Indonesia. Negara saya, negara ente, dan negara kita. Sebuah negeri luas dengan hampir 300 juta jiwa yang setia berjuang dari tanggal muda ke tanggal tua.
Bagaimana kondisi anggarannya? Defisit. Rp 507,8 triliun. Jika Irlandia seperti anak sultan yang kebingungan karena terlalu kaya, Indonesia lebih mirip mahasiswa yang tanggal 15 sudah mulai hidup dari hasil ngebon di warung sebelah.
Negara harus belanja, tapi duit kurang. Jadinya? Pinjam dulu, nanti dibayar belakangan.
Setiap tahun, pemerintah dengan penuh harapan menghitung pemasukan, merancang anggaran, dan akhirnya pasrah melihat angka defisit tetap ada.
Tapi apa boleh buat? Pembangunan tak bisa berhenti. Infrastruktur harus jalan. Subsidi harus tetap ada. Belanja negara harus terus menggerakkan ekonomi. Utang? Ya, tambahan modal dulu, urusan cicilan nanti dipikirkan bersama generasi mendatang.
Apakah surplus selalu bagus dan defisit selalu buruk? Tidak juga. Irlandia, dengan kelebihan duitnya, bisa jadi justru kehilangan momentum ekonomi kalau terlalu pelit belanja.
Sementara Indonesia, meski defisit, tetap bisa bertahan dan bertumbuh dengan strategi yang tepat. Yang satu pusing karena kelebihan, yang lain pusing karena kekurangan. Dua masalah, dua perspektif.
Namun, ada faktor lain yang menarik, korupsi. Ini lagi ramai, wak. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2024, Irlandia memperoleh skor 77, menempatkannya di peringkat 10 besar negara paling bersih dari korupsi.
Mungkin di sana tak ada fee proyek, markup anggaran, uang terima kasih, jatah preman kali ya.
Sementara Indonesia? Skor 37, peringkat 99 dari 180 negara. Korupsi masih menjadi tantangan besar.
Tak hanya itu, korupsi sudah jadi budaya, selangkah lagi jadi local wisdom. Jika korupsi bisa ditekan, defisit pun bisa berkurang.
Cuma, kapan ya si koruptor bisa puasa merampok uang rakyat. Ntahlah wak.
Satu hal yang pasti, Irlandia sedang menikmati surga finansial. Sementara Indonesia? Kita tetap tangguh. Tetap semangat. Tetap mencari cara bertahan.
Kalau negara diibaratkan manusia, Irlandia adalah konglomerat yang sedang menatap rekeningnya dan berkata, “Kok banyak banget, ya?”
Sementara Indonesia? Ya, kita adalah pejuang gaji UMR yang tetap tersenyum meski akhir bulan sudah dekat. Dunia memang penuh ketimpangan. Tapi setidaknya, kita tetap punya semangat walau banyak utang. #camanewak
Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis