Desa Kondang Malah Bagi-bagi THR


Desa Kondang Malah Bagi-bagi THR
Ilustrasi: Rosadi Jamani

 

ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar



NEGERI ini sedang dalam puncak kejayaannya. Kejayaan korupsi. Dari yang recehan sampai yang kelas kakap, dari pungli parkir sampai dana bansos, dari markup proyek sampai bancakan APBD. Dari kelas teri sampai kaum elite, berlomba menggarong uang rakyat.

Seolah-olah para pejabat punya hobi yang sama, kompetisi siapa yang bisa menggelapkan uang paling banyak tanpa tertangkap.

Kalau pun tertangkap? Tinggal senyum ke kamera, tahanan VIP, bebas sebelum ubanan. Rakyat? Hanya bisa pasrah sambil menyuapkan mi instan ke mulut.

Di tengah parade tikus berdasi ini, muncul sebuah kejadian yang tidak masuk akal. Sebuah kisah yang begitu langka, sampai-sampai kita semua meragukan apakah ini benar-benar terjadi di Indonesia.

Desa Kondang, sebuah desa kecil di Kotawaringin Lama, Kalimantan Tengah, melakukan sesuatu yang tak terbayangkan. Mereka bagi-bagi THR ke rakyatnya!

Tunggu. Apa? Bagi-bagi uang ke rakyat? Bukan pejabatnya yang pesta pora? Tidak ada anggaran yang raib misterius? Tidak ada proyek fiktif? Ini nyata?

Betul. Ini bukan lelucon. Bukan prank. Ini kisah nyata. Menjelang Idulfitri, setiap kepala keluarga di Desa Kondang mendapat THR sebesar Rp1 juta. Bukan seratus ribu. Bukan voucher diskon. Tapi sejuta penuh!

Tanpa potongan administrasi, tanpa tanda tangan pejabat, tanpa perlu antre dengan wajah penuh harap di depan balai desa. Cukup duduk di rumah, dan uangnya sampai. Seperti mukjizat.

Ternyata, Desa Kondang punya rahasia. Mereka punya Badan Usaha Milik Desa alias BUMDes yang benar-benar berfungsi. Bukan BUMDes fiktif yang hanya ada di laporan tahunan. Mereka mengelola kebun kelapa sawit seluas 42 hektare dengan baik.

Tanpa mafia, tanpa proyek abal-abal, tanpa setoran wajib ke ‘pihak tertentu’. Hasilnya? Desa ini punya Pendapatan Asli Desa yang benar-benar bisa dinikmati warganya, bukan sekadar angka di atas kertas.

Bagian paling mengejutkan, perangkat desa tidak mengambil THR. Mereka biarkan semua untuk rakyat.

Tidak ada cerita kepala desa tiba-tiba punya mobil baru. Tidak ada cerita bendahara desa mendadak sering liburan ke Bali. Tidak ada cerita anggaran mendadak ‘tersesat’ di rekening pribadi.

Ini benar-benar kejadian langka. Seolah-olah Desa Kondang bukan bagian dari republik ini, melainkan sebuah dimensi alternatif di mana pejabat masih punya hati nurani.

Bayangkan, kalau semua desa seperti ini. Kalau semua anggaran digunakan sesuai fungsinya. Kalau semua BUMDes dikelola dengan benar.

Kita tidak perlu lagi melihat berita kepala desa korupsi dana desa untuk beli truk, beli tanah, beli suara pemilu. Kita tidak perlu lagi melihat rakyat mengemis bantuan yang seharusnya memang hak mereka.

Tapi, ah, itu hanya mimpi. Sebab di negeri ini, kejujuran itu barang langka. Bahkan lebih langka dari kopi liberika di tengah arabika.

Kisah Desa Kondang ini adalah tamparan keras bagi para pejabat korup. Sebuah bukti bahwa tidak semua orang serakah. Bahwa masih ada yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk perut sendiri.

Desa ini seharusnya jadi contoh, jadi inspirasi, jadi bahan studi banding. Bukan desa-desa yang malah studi banding ke luar negeri dengan alasan ‘belajar pengelolaan sampah’ tapi ujung-ujungnya hanya jalan-jalan.

Apakah kisah Desa Kondang ini akan menular ke desa lain? Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi setidaknya, untuk sekali ini, kita bisa tersenyum melihat ada sebuah desa yang berhasil membuktikan bahwa uang rakyat bisa benar-benar kembali ke rakyat.

Sementara itu, di belahan lain negeri ini, kita tetap disuguhi tontonan korupsi babak baru. Setiap masa ada koruptornya. Setiap koruptor ada masanya. Ganti rezim, ganti pula koruptornya.

Begitulah, wak. Hidup terus berjalan. Korupsi terus berlanjut. Tapi setidaknya, di satu sudut kecil negeri ini, ada harapan. Ada kejujuran. Ada secuil bukti bahwa Indonesia masih punya masa depan.

Itu cukup untuk membuat kita sedikit lega. Sedikit saja. Sebelum besoknya, berita korupsi baru muncul lagi. #camanewak

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis