Pajak Turun

Utang Naik


Pajak Turun
Ilustrasi: Rosadi Jamani

ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar

 

BANYAK followers minta, “Bang, bahas Coretax, dong!” Baik, saya coba bahas, tentu dengan gaya absurd. Bahasa Melayu Pontianaknya, “tak tentu rudu, suke-suke.”

Sambil menunggu sahur, dan tentu kopi selalu menemani, kita kupas apa sebenarnya Coretax itu.

Coretax. Sistem canggih nan adiluhung yang digadang-gadang akan merevolusi perpajakan Indonesia.

Sebuah maha karya digital yang dikembangkan dengan biaya 1,3 triliun. Bayangkan, wak! Uang sebanyak itu! Bisa buat beli mie instan seumur hidup, lengkap dengan telur dan cabe.

Tapi alih-alih jadi solusi, sistem ini lebih sering jadi misteri.

Bayangkan lagi, seorang wajib pajak yang dengan semangat empat lima ingin membayar pajaknya. Dia masuk ke sistem, mengisi data, menekan tombol submit, dan... error.

Dia coba lagi. Error. Dia coba di pagi hari, error. Siang hari, error. Tengah malam, error.

Mungkin Coretax beroperasi di dimensi lain, hanya bisa diakses oleh dewa-dewa digital yang tidak kita kenal. Tapi tenang, Direktorat Jenderal Pajak punya solusi, bersabarlah.

Proyek ini memang luar biasa, bukan hanya dari segi angka, tapi juga dari skala proyeknya.

Coretax bukan dibuat sembarangan, melainkan hasil karya konsorsium teknologi internasional dari Korea Selatan, LG CNS-Qualysoft Consortium.

Para ahli teknologi dunia turun tangan. Ternyata teknologi secanggih ini masih bisa kalah oleh satu hal, gangguan teknis.

Mungkin Coretax ini sebenarnya punya jiwa yang rentan, sering baper, gampang ngambek kalau terlalu banyak yang mengakses.

Atau mungkin dia lelah, karena dibangun sejak 2020 tapi masih setengah hati beroperasi.

Namun jangan khawatir, wak! Pemerintah tetap optimis. Bahkan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, sampai harus turun tangan.

Beliau meminta Presiden Prabowo untuk mengaudit proyek ini. Bayangkan, Rp1,3 triliun, habis. Tapi, yang dihasilkan malah debat panjang dan wajah-wajah bingung para pegawai pajak.

Di balik layar, para ekonom sibuk berhitung, mencoba mencari tahu bagaimana dampak Coretax ini terhadap penerimaan negara.

Hasilnya? Fantastis! Penerimaan pajak Januari 2025 anjlok 41,86%, dari Rp152,89 triliun di Januari 2024 menjadi Rp88,89 triliun.

Angka yang cukup untuk membuat siapa pun mendadak religius, memandangi langit, dan bertanya, "Ya Tuhan, kenapa?"

Dampaknya luar biasa. Pemerintah yang tadinya percaya diri bisa membiayai proyek-proyek infrastruktur dan program sosial kini harus putar otak.

Opsi yang tersedia? Utang! Tapi tentu saja, utang harus dikelola dengan bijak.

Para ekonom pun berkumpul, berdiskusi serius, menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menerbitkan surat utang dalam valuta asing.

Karena kalau rupiah terus melemah, bayar cicilan utang bisa lebih menyakitkan dari ditinggal gebetan saat lagi sayang-sayangnya.

Para akademisi juga angkat bicara. Wiyanto Samirin dari Universitas Paramadina dengan wajah penuh keprihatinan mengingatkan bahwa rasio utang terhadap PDB sudah hampir 40%. Debt Service Ratio (DSR) bahkan sudah tembus 45%, jauh di atas batas aman 25% - 30%.

Artinya, ruang fiskal pemerintah untuk belanja prioritas semakin sempit. Dengan kata lain, kalau Coretax tetap begini terus, kita bisa sampai pada titik di mana negara harus memilih: bayar utang atau bangun jembatan baru.

Di sisi lain, Guru Besar Keuangan Universitas Indonesia, Budi Frensidy berpendapat, sebaiknya pemerintah tetap menerbitkan surat utang, tapi dalam rupiah saja.

Lebih aman, lebih nyaman, dan tidak perlu pusing memikirkan nilai tukar dolar yang semakin liar. Pemerintah sendiri sudah menerbitkan surat utang sebesar Rp238,8 triliun sampai Februari 2025, sekitar 37% dari target Rp642,6 triliun.

Masalahnya, utang yang harus dibayar tahun ini mencapai Rp800,33 triliun. Ini ibarat menggali lubang baru untuk menutup lubang lama.

Terus begitu, sampai lubangnya cukup besar untuk jadi danau buatan.

Semoga followers saya tambah cerdas. Tidak mudah termakan hoax. Kalau semua cerdas, negeri ini akan maju. Ngopi pun nikmat. #camanewak

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis