Tenggelam dalam Duka


Tenggelam dalam Duka
Ilustrasi: Rosadi Jamani

 

ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar

 


SEBULAN lalu, Kalbar menangis. Empat kabupaten tenggelam dalam air mata bumi. Sekarang giliran Bekasi dan sekitarnya. Kota yang pernah saya tinggali dulu. Kota yang kini terlihat seperti kolam raksasa.

Di atap rumah, mereka duduk. Bingung. Tak tahu harus ke mana. Air datang deras, tanpa permisi.

Banjir bukan lagi sekadar bencana. Ini sudah jadi tamu tahunan yang tak diundang, tapi selalu datang.

Hujan deras. Kiriman air dari Bogor. Sungai-sungai meluap, seolah tak kuat menahan beban. Tapi apakah hanya hujan yang salah? Atau kita juga ikut bersalah?

20 titik di 7 kecamatan. Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede, Rawalumbu. Ketinggian air? Sampai tiga meter.

Bukan lagi banjir. Ini tsunami daratan.

Stadion Patriot Chandrabhaga, pusat perbelanjaan, jalan utama, semua tenggelam. Jembatan Kemang Pratama amblas.

Seolah bumi berkata, "Cukup sudah kalian membebani aku."

Ribuan warga mengungsi. Perahu karet datang terlambat. Bantuan? Ada. Tapi cukupkah? Apakah ini solusi atau hanya plester pada luka yang terus menganga?

Angka-angkanya menyayat hati. 16.000 jiwa terdampak di Kota Bekasi. 5.000 jiwa mengungsi. Di Kabupaten Bekasi? 51.320 jiwa.

Dapur umum didirikan. Posko pengungsian dibuka. Tapi apakah itu bisa menghapus trauma? Apakah itu bisa menghangatkan hati yang dingin karena kehilangan?

Sementara itu, negeri ini juga sedang dilanda banjir korupsi. Kejaksaan Agung dan KPK sibuk berlomba. Angka triliunan terus bermunculan. Uang rakyat lenyap begitu saja.

Ironis, bukan? Di satu sisi, rakyat kehilangan rumah karena banjir. Di sisi lain, uang mereka hilang karena korupsi.

Gelombang PHK pun datang. Puluhan ribu karyawan dipecat. Di bulan puasa pula. Lebaran semakin dekat, tapi rezeki semakin jauh.

Anak-anak bertanya, "Ayah, kapan kita beli baju baru?" Istri menunduk, tak sanggup menjawab. Suami hanya diam, meremas tangannya sendiri.

Indonesia, negeri yang kaya raya. Tapi kenapa rakyatnya miskin-miskin? Banjir datang, korupsi datang, PHK datang. Apa lagi yang akan datang? Mungkin badai, mungkin kelaparan.

Kita bangun gedung pencakar langit, tapi lupa membangun saluran air. Kita bicara tentang kemajuan, tapi lupa memperbaiki moral. Kita gembar-gembor soal pembangunan, tapi rakyat tetap terpuruk.

Bumi menangis. Langit murka. Manusia tersesat dalam keserakahannya sendiri. Banjir bukan lagi air, tapi darah dari bumi yang terluka.

Korupsi bukan lagi kejahatan, tapi penyakit kronis yang membusukkan negeri ini. PHK bukan lagi pemutusan hubungan kerja, tapi pemutusan harapan hidup.

Air naik. Rumah tenggelam. Anak-anak menangis. Orang tua pasrah. Uang hilang. Koruptor tertawa. Karyawan dipecat. Keluarga kelaparan. Janji politik kosong. Rakyat menderita.

Miris. Sedih. Pilu. Apa yang bisa kita lakukan? Menangis? Mengeluh? Atau berdoa agar semua ini berakhir? Tapi apakah doa kita masih didengar? Atau rumput pun tidak lagi bergoyang?

Air mata ini jatuh. Tapi siapa yang peduli? Inilah negeri saya, negeri ente, negeri kita. Negeri yang indah, tapi menyakitkan. #camanewak

 

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis