Gubernur Kalbar

Tak Hiraukan Seruan Mega


Gubernur Kalbar
Ilustrasi: Rosadi Jamani

 

ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar

 

LANGIT Yogyakarta cerah. Angin sepoi-sepoi membelai wajah Ria Norsan, Gubernur Kalbar saat ia melangkah keluar dari pintu kedatangan Bandara YIA.

Senyum tipis terukir di bibirnya. Tatapan matanya lurus ke depan. Tak ada keraguan. Tak ada kegelisahan. Padahal, di kejauhan, di pusat kekuasaan, seorang perempuan bernama Megawati Soekarnoputri sedang berkacak pinggang.

"Jangan ikut retret dulu!" perintahnya.

Tapi Norsan? Ah, telinganya sepertinya sudah disetel ke mode ‘saring yang penting, abaikan yang tak menguntungkan.’

Bukan perkara kecil, ini! Megawati, sang Megatron, eh salah, pemimpin besar partai, telah mengibarkan bendera larangan. Namun, Norsan tetap melangkah mantap menuju Akademi Militer, Magelang. Mungkin, di dalam hatinya, ada alunan lagu kebangsaan Gaspol Tanpa Rem.

Ada sebuah perahu. Dulu, perahu ini membawa Norsan mengarungi lautan politik yang ganas. Ombak fitnah menerjang, badai kampanye menerpa. Tapi perahu itu kokoh. Ditenagai mesin PDI-P, Hanura, dan PPP. Hingga akhirnya, setelah melewati ombak penuh perjuangan, Norsan sampai di dermaga kekuasaan.

Namun, entah mengapa, begitu menjejakkan kaki di daratan empuk bernama "kursi gubernur," ia tiba-tiba lupa siapa yang mendayung perahu itu.

"Saya maju sebagai nonpartai," katanya dengan wajah tanpa dosa. Mungkin maksudnya ia maju bukan sebagai kader partai.

Kalimat itu seperti seorang anak yang baru saja disekolahkan, dibiayai, diberi makan, lalu dengan polos berkata, "Saya mandiri, Bu!"

Tiga partai yang dulu berkeringat untuknya, kini seperti bayangan di kejauhan. Terutama PDI-P, yang kini hanya bisa geleng-geleng kepala melihat mantan penumpangnya bersikap seperti turis yang tersesat di kapal orang.

Saat ditanya soal instruksi Megawati?

"Tidak ada komunikasi dengan saya."

Oh, baiklah. Sepertinya perahunya sudah hilang dari ingatan. Atau sengaja dikubur di dasar laut.

Apa alasan Norsan tetap ikut retret? Sederhana. "Ini demi sinergi pusat dan daerah!" katanya. Suaranya lembut, seperti guru TK yang sedang membujuk murid untuk makan siang.

Retret ini, menurutnya, penting. Demi pembangunan. Demi kesejahteraan rakyat. Demi masa depan Kalimantan Barat. Demi bangsa dan negara. Wah! Hampir saja kita lupa, demi dirinya sendiri juga.

Karena dalam politik, ada satu prinsip tak tertulis, Yang utama adalah rakyat. Tapi lebih utama lagi adalah posisi.

Norsan tahu itu. Kita tahu itu. Semua tahu itu.

Pada akhirnya, politik memang selalu begini, perintah bisa diabaikan, janji bisa diingkari, tapi kepentingan? Ah, itu harga mati. Bahkan, satu-satunya yang abadi di dunia, kepentingan. #camanewak

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis