MILITER Amerika Serikat (AS) menyatakan prihatin terhadap serangkaian serangan dan penculikan awak kapal tunda oleh ekstrimis Abu Sayyaf di perairan Asia Tenggara dan bersedia untuk membantu apabila diperlukan sebagai bagian dari tujuan Amerika untuk menjamin kebebasan dan keamanan navigasi di wilayah tersebut, kata seorang perwira tinggi Angkatan Laut AS, Senin.
Laksamana Pertama (Rear Admiral) Brian Hurley mengatakan Angkatan Laut mendukung pemerintahan di Asia Tenggara untuk memastikan kebebasan navigasi dan keselamatan manusia di wilayah ekonomi yang ramai dan akan terus melakukannya.
Indonesia, Malaysia dan Filipina sepakat untuk mengambil tindakan yang lebih terkoordinasi, termasuk patroli laut dan udara, dan membentuk "koridor transit" sebagai jalur laut yang dirancang untuk perahu dan kapal di laut sepanjang perbatasan mereka untuk menghentikan gelombang mengkhawatirkan dari serangan kelompok Abu Sayyaf dan sekutu militannya.
Lebih dari dua belas awak kapal Indonesia dan Malaysia telah diculik untuk mendapatkan tebusan uang oleh kelompok Abu Sayyaf dan kelompok militan bersenjata yang telah menggunakan perahu motor yang dipersenjatai untuk melancarkan empat serangan terhadap kapal tunda yang bergerak lambat di Laut Sulu dan perairan terpencil sejak April.
Semua sandera dari tiga serangan pertama telah dibebaskan, dilaporkan dalam pertukaran untuk uang tebusan, tetapi kapal tunda keempat diserang bulan lalu dan tujuh awak Indonesia diculik, kata pihak otoritas.
Seorang perwira militer Filipina yang memantau serangan di lepas pantai mengatakan Abu Sayyaf kemungkinan telah bekerja dengan militan dan kontaknya di Indonesia dan Malaysia untuk melakukan serangan pada kapal tunda dan kapal komersial yang melintas dan ini mirip dengan serangan pembajakan di Somalia beberapa tahun yang lalu.
Bergesernya kegiatan pembajakan tampaknya didukung oleh aksi militer kuat yang membuat lebih sulit bagi para militan untuk melaksanakan penculikan untuk mendapatkan tebusan, sebagai sumber utama dana untuk Abu Sayyaf, kata sang pejabat.
"Kami selalu khawatir tentang keselamatan di laut dan kebebasan navigasi melalui perairan," kata Hurley dalam sebuah wawancara.
Di Laut Cina Selatan yang disengketakan, Angkatan Laut AS menyebarkan sekitar 700 kapal setiap tahun untuk patroli - rata-rata dua kapal per hari - untuk menjamin kebebasan navigasi," dan kami akan terus melakukan itu di seluruh dunia," kata Hurley .
Hurley dan pejabat angkatan laut lainnya dari Australia dan Selandia Baru berbicara di atas kapal rumah sakit Angkatan Laut USNS Mercy yang berlabuh di kota Legazpi di provinsi Albay di timur laut Filipina saat turut berpartisipasi dalam misi kemanusiaan tahunan yang dinamai Pacific Partnership, yang juga bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana.
Lebih dari 600 personil militer dan sipil dari AS, Australia, Selandia Baru, Kanada, Inggris, Malaysia, Singapura dan Korea Selatan terlibat dalam misi sipil menyusul gempa besar Indonesia pada Desember 2004 yang memicu tsunami yang menewaskan 230.000 orang di berbagai negara.
Kapten Mike Spruce dari Angkatan Laut Australia mengatakan latihan kesiapsiagaan bencana tahunan untuk meningkatkan kerjasama antara pemerintah menghadapi "ketika saat-saat buruk datang, bahwa seluruh keluarga akan datang dan membantu."
Sementara kegiatan yang dipimpin AS saat ini berpusat pada pekerjaan kemanusiaan, termasuk operasi kecil, gigi dan bantuan medis lainnya, yang kemungkinan berevolusi menjadi aksi yang lebih besar yang akan didukung oleh penerbangan dan kapal bencana dengan memanfaatkan kekuatan penjaga laut dan pantai negara yang berbeda, kata Commodore AS Tom Williams, seperti dikutip Associated Press yang dilansir MailOnline.
"Kami ingin melakukan hal ini dalam situasi yang kondusif," kata Hurley, "sehingga ketika krisis benar-benar terjadi, seluruh negara dapat merespons krisis lebih cepat dan tepat."
THE U.S. military is concerned about a series of attacks and abductions of tugboat crewmen by Abu Sayyaf extremists in Southeast Asian waters and is willing to lend a hand if needed as part of America's aim to ensure the freedom and safety of navigation in the region, a U.S. Navy official said Monday.
Rear Adm. Brian Hurley said the U.S. Navy has worked with Southeast Asian governments to ensure freedom of navigation and the safety of people in the economically bustling region and would continue to do so.
Indonesia, Malaysia and the Philippines have agreed to take possible coordinated actions, including sea and air patrols, and establish a "transit corridor" as designated sea lanes for boats and ships in the seas along their borders to stop an alarming wave of attacks by the Abu Sayyaf and allied militants.
More than two dozen Indonesian and Malaysian crewmen have been kidnapped by ransom-seeking Abu Sayyaf militants and allied gunmen who have used powerful speedboats to stage four attacks on slow-moving tugboats in the Sulu Sea and outlying waters since April.
All the hostages from the first three attacks have been freed, reportedly in exchange for ransoms, but a fourth tugboat came under attack last month and seven Indonesian crewmen were kidnapped, officials said.
A Philippine military officer who has monitored the offshore attacks said the Abu Sayyaf may have been working with militants and contacts in Indonesia and Malaysia to carry out attacks on passing tugboats and commercial ships similar to the piracy assaults in Somalia a few years ago.
The shift to piracy may have been prompted by stronger military actions that have made it more difficult for the militants to carry out kidnappings for ransom, a key source of funds for the Abu Sayyaf, the officer said.
"We are always concerned about safety at sea and the freedom of navigation through the waters," Hurley said in an interview.
In the disputed South China Sea, the U.S. Navy deploys about 700 ships each year for patrols — an average of two ships per day — to ensure freedom of navigation, "and we'll continue to do that all over the world," Hurley said.
Hurley and other naval officials from Australia and New Zealand spoke on board the Navy hospital ship USNS Mercy off Legazpi city in the northeastern Philippine province of Albay while participating in an annual humanitarian mission called the Pacific Partnership, which also aims to improve disaster preparedness.
More than 600 military and civilian personnel from the U.S., Australia, New Zealand, Canada, the United Kingdom, Malaysia, Singapore and South Korea are involved in the civic mission that was conceived following a massive earthquake off Indonesia in December 2004 that triggered a tsunami which killed 230,000 people in a dozen countries.
Capt. Mike Spruce of the Royal Australian Navy Reserve said the annual disaster preparedness drills foster a feeling among governments "that when bad times come, that the rest of the family will come and help."
While the U.S.-led event currently centers on humanitarian work, including minor surgeries, dental and other medical help, it may evolve later into a larger effort to also brace for aviation and ship disasters by harnessing naval and coast guard forces of different countries together, U.S. Commodore Tom Williams said.
"We want to do this in a calm environment," Hurley said, "so when a crisis really does occur, that interoperability to respond in a crisis becomes second nature."