Jeffrey Winters: Presiden Jokowi Bagaikan Lumba-lumba yang Berenang di Kolam Hiu
Indonesia`s Widodo Marks Disappointing First Year in Power

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
Rabu, 21 Oktober 2015
Presiden RI Joko Widodo (Foto: MailOnline)

PRESIDEN RI Joko Widodo yang menjabat tahun lalu di tengah harapan bahwa sosoknya sebagai rakyat biasa menjadi 'harapan rakyat' akan mengantar ke era baru yang bersih, dan pemerintahan lebih efektif.

Dua belas bulan sudah, para pengamat menilai harapan rakyat ternyata belum terwujud.

Joko Widodo, dikenal dengan julukan "Jokowi", meraih kekuasaan politik berkat gelombang dukungan rakyat dan sosoknya lekat dengan citra bebas korupsi, wajah baru di tengah dominasi oligarki dari era rezim Soeharto.

Mantan gubernur Jakarta, yang berkampanye di daerah kumuh mengenakan kemeja putih, terpilih setelah persaingan sengit secara kontroversial menghadapi mantan jenderal, menjadi pemimpin pertama Indonesia yang berasal dari luar elit politik dan militer.

Namun menjalankan pemerintahan di negara yang penduduknya terpadat keempat di dunia ternyata terbukti lebih sulit.

Kebijakan ekonomi Jokowi dituding hanya membawa sedikit kemajuan, ia dikritik karena kemunduran dalam memerangi korupsi di salah satu negara yang paling korup di dunia, dan citranya di luar negeri ternoda oleh eksekusi mati warga asing yang menjadi terpidana narkoba.

"Ini menjadi sandungan tahun pertama untuk Joko Widodo," kata Profesor Jeffrey Winters, seorang ahli Indonesia dari Northwestern University di Amerika Serikat, seperti dikutip AFP yang dilansir MailOnline.

"Orang-orang Indonesia mengharapkan perubahan dan mereka memilih Jokowi untuk membawa perubahan - tapi belum ada banyak perubahan."

Ekonomi Melambat
Presiden Jokowi resmi menjabat pada 20 Oktober 2014 dan memulai dengan baik melalui langkah memotong subsidi BBM yang menggerus hampir separuh dana APBN, menerapkan kebijakan efisiensi untuk investasi di tengah ekonomi yang melambat.

Namun birokrasi dan kurangnya koordinasi di lingkungan pemerintahan menghambat proyek-proyek infrastruktur penting, dan upaya Jokowi dilemahkan oleh kebijakan proteksionis secara sepihak yang diumumkan oleh menterinya, seperti pembatalan mendadak ribuan lisensi impor.

Setahun ini, pertumbuhan ekonomi tercatat posisi terendah dalam enam tahun terakhir dan depresiasi rupiah.

Sementara gejolak pasar global juga memainkan peran utama, Jokowi juga menghadapi kecaman karena dituding bertindak maksimal untuk memperbaiki ekonomi - sebagai fokus utamanya.

Dalam wawancara dengan BBC baru-baru ini, ia membela diri atas kinerja pemerintahannya, bahwa reformasi ekonomi adalah "proses yang panjang", seraya menambahkan: "Dibutuhkan waktu untuk mengelola sebuah negara sebesar Indonesia."

Bagi banyak orang Indonesia, kekecewaan yang lebih besar telah apa yang mereka lihat sebagai kegagalan Jokowi untuk meningkatkan pemberantasan korupsi, mengingat kebiasaan memungut uang suap yang dianggap sebagai hal lumrah di Indonesia.

Secara khusus, presiden menghadapi kritik setelah mencalonkan tokoh kontroversial sebagai Kapolri - para pengamat meyakini langkah tersebut bertujuan menjaga kepentingan ketua partai dan patron politiknya, Megawati Soekarnoputri.

Berenang di `Kolam Hiu`
Kandidat Kapolri memicu ketegangan antara polisi yang diduga korupsi dan lembaga anti-korupsi yang populer, yang menetapkannya sebagai tersangka korupsi. Jokowi kemudian membatalkan keputusannya, tapi hanya setelah mendapat kecaman, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus tergerus oleh upaya pelemahan oleh Polri.

Popularitasnya pun melorot sejak itu. Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga survei Indo Barometer bulan ini menunjukkan kepuasan publik terhadap kepemimpinan Jokowi hanya 46% pada September, turun dari 57% pada Maret.

Sementara terkait hubungan internasional yang menyambut baik terpilihnya Jokowi, berbalik meragukan kepemimpinan Jokowi setelah mengeksekusi warga asing terpidana mati narkoba dalam upaya Indonesia memerangi narkotika yang dinyatakan dalam kondisi "darurat" kata para pakar berdasarkan bukti cacatan.

Eksekusi oleh regu tembak pada April terhadap dua warga Australia, Brasil dan empat warga Nigeria untuk penyelundupan narkoba memicu kemarahan internasional, dan Australia mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan menarik duta besarnya dari Jakarta sebagai pernyataan protes.

Meskipun terkepung berbagai masalah, beberapa analis tetap melihat tanda-tanda Jokowi tetap mampu memimpin Indonesia - ia dipuji setelah pada Agustus melakukan perombakan kabinet dengan mengganti Menko Perekonomian, dan serangkaian paket eknonomi sebagai stimulus.

"Dia belum bekerja maksimal, Jokowi masih berpeluang," kata Achmad Sukarsono, analis Indonesia dari konsultan risiko Eurasia Group.

Pakar Indonesia dari Northwestern University, Jeffrey Winters mengatakan presiden masih dapat menjaga dukungan pada pemerintahannya mengusung sosoknya sebagai pria sederhana.

"Rakyat Indonesia akan kembali mendukungnya apabila ia dapat menjaga citra bahwa ia adalah lumba-lumba yang berenang di kolam hiu yang mengancam," katanya.


INDONESIAN President Joko Widodo took office last year on hopes that an outsider and "man of the people" would swiftly usher in a new era of cleaner, more effective governance.

Twelve months on, critics say those hopes have come to nought.

Widodo, known by his nickname "Jokowi", swept to power on a wave of popular support for his hands-on approach and his image as a corruption-free, fresh face in a country long dominated by oligarchs from the era of dictator Suharto.

The former Jakarta governor, who would campaign in the slums wearing casual clothes, was elected after a bruising battle against a controversial ex-general with a chequered human rights record, becoming the country's first leader from outside the political and military elite.

But running the world's fourth most-populous country has proved even more difficult.

Widodo's plans to kick-start the economy have made little progress, he has been criticised for backsliding in the fight against corruption in one of the world's most graft-ridden nations, and his image abroad has been tarnished by the execution of foreign drug convicts.

"It has been a rocky first year for Joko Widodo," said Professor Jeffrey Winters, an Indonesia expert from Northwestern University in the United States.

"The Indonesian people are tired of business as usual and they voted for Jokowi to bring change -- but there hasn't been much change."

- Languishing economy -
The president took office on October 20, 2014 and got off to a good start by cutting fuel price subsidies that ate up a huge chunk of the government's budget, freeing up billions of dollars to invest in boosting the slowing economy.

But red tape and a lack of organisation hampered efforts to launch vital infrastructure projects, and Widodo's attempts to attract investors were undercut by protectionist policies unilaterally announced by ministers, such as the abrupt cancellation of thousands of import licences.

A year on, economic growth is languishing at a six-year low and the rupiah has fallen heavily.

While global market turmoil has played a major role, Widodo has also faced criticism for not doing enough to fix the economy -- his main focus.

In a recent BBC interview, he defended his record, saying that reforming the economy was a "long process", adding: "It takes time to manage a country as big as Indonesia."

For many Indonesians, an even bigger disappointment has been what they see as Widodo's failure to step up the fight against graft, in a country where facing demands for kickbacks is just part of everyday life for many.

In particular, the president faced criticism over his nomination of a controversial figure as the new national police chief -- a move observers believe was aimed at keeping the powerful head of his party and political patron, Megawati Sukarnoputri, on side.

- 'Determined dolphin' -
The nomination triggered a row between the notoriously corrupt police and the popular anti-graft agency, which accused the nominee of bribery. Widodo withdrew the candidate, but only after dithering, by which point the anti-corruption body had been severely weakened by attacks from the police.

His popularity has been sliding ever since. A survey by pollster Indo Barometer this month showed public satisfaction with Widodo at 46 percent in September, down from 57 percent in March.

For allies overseas who had welcomed a fresh face in the presidency, there was disbelief at Widodo's drive to put foreign drug convicts to death in the name of fighting a national narcotics "emergency" that experts said was based on flawed evidence.

The execution by firing squad in April of two Australians, a Brazilian and four Nigerians for drugs offences sparked international outrage, and ally Australia took the unprecedented step of withdrawing its ambassador from Jakarta in protest.

Despite all his problems, some analysts nevertheless see signs he is finding his feet -- he was praised for an August cabinet reshuffle that replaced key economic ministers, and a recent series of stimulus measures.

"He's still very weak, but he is progressing," said Achmad Sukarsono, an Indonesia analyst from risk consultancy Eurasia Group.

Northwestern University's Winters said the president can still keep support by playing to his down-to-earth image.

"The Indonesian people will cut him slack if he can maintain the image that he is a determined dolphin swimming in a pool of menacing sharks," he said.

TERKAIT - RELATED