Australia Menyadap karena, "Canberra tidak Percaya Jakarta". ("Elit Politik Indonesia Doyan Bicara")
Canberra Doesn`t Trust Jakarta

Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Selasa, 19 November 2013
Presiden SBY dan PM Australia, Tony Abbott (Foto: smh.com.au)

KABAR tentang aksi dinas intelijen elektronik Australia (the Defence Signals Directorate) membidik telepon seluler milik Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah kabar baru bagi ratusan bahkan ribuan agen rahasia, diplomat, birokrat, dan politisi Australia.

Pernyataan tersebut dikemukakan kolumnis The Canberra Times. Philip Dorling melalui tulisannya berjudul ´ "Canberra Doesn´t Trust Jakarta" yang dimuat di harian terkemuka Australia, Sidney Morning Herald, hari ini (19/11).

Mengapa kita (Australia) melakukan itu? Dorling mengatakan, di balik semua deklarasi persahabatan dan bertetangga baik oleh Pemerintah Australia, Canberra tidak pernah bisa mempercayai Jakarta.

"Kita (Australia) bekerja sama dengan Indonesia, termasuk di bidang keamanan dan intelijen, tapi kita tidak percaya mereka (Indonesia). Kita tidak pernah, dan mungkin tidak akan pernah," tulis Dorling.

Australia mendapati bahwa sistem politik Indonesia tidak jelas, penuh dengan korupsi dan rentan terhadap aksi sepihak kalangan nasionalis. Kita  tidak menganggap Indonesia sebagai sahabat sejati (tentu saja tidak dengan cara memandang, misalnya, terhadap Selandia Baru sebagai sekutu dalam kemitraan "Five Eyes" atau lima sekutu terpercaya Australia) dan kita sulit mengabaikan kemungkinan suatu saat, mungkin di jauh masa depan, Indonesia akan menjadi ancaman .

Skala kegiatan spionase kita mengungkap banyak makna tentang pemisahan Australia dari Asia sebagai benua, dan kedekatan berkelanjutan kita dengan sesama pengguna bahasa Inggris, yang disebut Perdana Menteri Australia, Tony Abbot sebagai "Anglosphere".

Setelah terkuak, banyak orang membaca laporan intelijen Australia di Amerika Serikat dan di tempat lain dari aksi komunitas intelijen "Five Eyes" daripada di Australia sendiri.

Pengungkapan-pengungkapan terbaru dari kegiatan spionase Australia tidak diragukan lagi akan memicu beberapa kesulitan diplomatik lebih lanjut, tapi mungkin akan berlalu begitu saja.

Komplain dari Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa mungkin bukan permainan kriket, tapi kita memang tidak bermain kriket dengan Indonesia.

Sejak 1954
Sebaliknya, kita telah memata-matai Jakarta untuk waktu yang sangat lama. Kedutaan Australia di Jakarta adalah lokasi stasiun luar negeri pertama dari Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS), didirikan pada 1954. ASIS selalu menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama.

Dia lalu mengutip catatan harian (yang tidak pernah diterbitkan) mantan duta besar pertama Australia di Indonesia, Sir Walter Crocker, juga menunjukkan bahwa Defence Signals Directorate secara rutin melanggar aturan diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950-an.

Pada tahun 1960, GCHQ membantu Defence Signals Directorate memecahkan mesin sandi buatan perusahaan Swedia, Hagelin yang digunakan oleh kedutaan Indonesia di Canberra.

GCHQ adalah singkatan dari Government Communications Headquarters. Ini adalah dinas intelijen Inggris yang bertanggungjawab dalam menyediakan sinyal intelijen (SIGINT) dan jaminan informasi kepada pemerintah dan angkatan bersenjata Inggris.

Pada 1970-an, fasilitas Defense Signals Shoal Bay, di luar kota Darwin memantau komunikasi militer Indonesia Indonesia dan memberi informasi dini tentang niat Indonesia untuk menginvasi Timor Timur.

Pada 1999, laporan Defence Intelligence yang bocor mengenai Indonesia dan Timor Timur menunjukkan intelijen Australia masih memiliki akses yang luar biasa terhadap komunikasi militer dan sipil Indonesia. Pembakaran ibukota Timor Timur, Dili oleh milisi bersama militer Indonesia pada September 1999 merupakan kejutan besar bagi intelijen Australia.

Setiap Perdana Menteri Australia sejak Robert Menzies (PM Australia 1949 - 1966) mendapat pengarahan mendalam mengenai jangkauan penetrasi terus menerus Defence Signals Directorate terhadap komunikasi diplomatik, militer dan sipil Indonesia yang terus meningkat.

Saat memata-mata Soeharto, Perdana Menteri Paul Keating berusaha mendapatkan pola pikir Soeharto mengenai diplomasi regional dan hubungan dengan Australia.

Memang, Keating mampu mengkonsolidasikan hubungan yang baik dengan Soeharto (disebutnya diktator) yang berbagi informasi dengan Soeharto tentang sepak terjang Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad (ASIS belum lama ini rupanya berhasil menyadap ruang kabinet Malaysia.)

Elit Politik Indonesia ´Cerewet´
Sekarang jelas bahwa Defence Signals Directorate berusaha mendapatkan gambaran lebih mendalam mengenai kebijakan politik dan pribadi Presiden SBY.

Operasi penyadapan ini, bagian dari aksi lebih luas "Five Eyes" melalui kode sandi "STATEROOM" sedangkan lokasi utama dari fasilitas rahasia tersebut berada di Kedubes Australia di Jakarta.

Operasi intelijen lebih ditujukan untuk perang melawan terorisme, namun menurut seorang mantan agen rahasia Australia kepada koran Fairfax Media bahwa tujuan utamanya adalah "intelijen politik, diplomatik dan ekonomi."

"Pertumbuhan besar jaringan telepon seluler (Indonesia) menjadi anugerah besar (bagi Australia) dan elit politik di Jakarta adalah sekelompok orang yang cerewet. Bahkan ketika mereka (elit politik Indonesia) berpikir intelijen mereka sendiri menyadap, mereka tetap saja terus mengoceh," katanya.

Pengungkapan rahasia intelijen ini akan mempermalukan kebijakan luar negeri Australia, diplomatik, namun Australia tidak akan berhenti memata-matai Indonesia.


THE NEWS that Australia´s electronic spy agency, the Defence Signals Directorate, has targeted Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono´s mobile phone won´t come as a surprise to the many hundreds, indeed thousands, of Australian intelligence officers, diplomats, bureaucrats and politicians who are well aware of the extent of our espionage against our neighbours.

Why do we do it? Behind all the declarations of friendship and good neighbourliness by successive Australian governments, Canberra just doesn´t trust Jakarta.

We work closely with Indonesia, including in the fields of security and intelligence, but we don´t trust them. We never have, and probably never will.

We find Indonesia´s political system opaque, riddled with corruption and prone to nationalist outbursts. We don´t regard Indonesia as a true friend (certainly not in the way, for example, we view New Zealand or our other “Five Eyes” partners) and we don´t rule out the possibility that some day, perhaps in the distant future, it may be a threat.

Our industrial-scale spying probably says a lot about Australia´s deep-seated sense of separateness from Asia, and our continuing closeness to our English-speaking partners – Prime Minister Tony Abbott´s beloved “Anglosphere”.

After all, more people read Australian intelligence reports in the United States and elsewhere in the “Five Eyes” intelligence community than in Australia.

These latest revelations of Australian espionage activity will no doubt cause some further diplomatic difficulty, but that will probably pass before too long.

It may not be cricket as Indonesian Foreign Minister Marty Natalegawa recently complained, but then we don´t play cricket with Indonesia.

Instead, we´ve spied on Jakarta for a very long time. Australia´s embassy in Jakarta was the location of the first overseas station of the Australian Secret Intelligence Service, established in 1954, and ASIS has always made Indonesia its top priority.

The unpublished diaries of one of Australia´s early ambassador´s to Indonesia, Sir Walter Crocker, also show the Defence Signals Directorate was routinely breaking Indonesia´s diplomatic cyphers from the mid-1950s onward.

In the 1960s, GCHQ helped Defence Signals crack the Swedish manufactured Hagelin cypher machines used by the Indonesian embassy in Canberra.

In the 1970s, the Defence Signals radio facility at Shoal Bay outside Darwin monitored Indonesian military communications and provided ample warning of Indonesia´s intentions to invade East Timor.

In 1999, leaks of top secret Defence Intelligence reports on Indonesia and East Timor showed Australian intelligence still had extensive access to Indonesian military and civilian communications. The burning of East Timor´s capital Dili by the Indonesian military and militias in September 1999 came as no surprise to Australian intelligence.

Every Australian prime minister since Robert Menzies has been thoroughly briefed on the extent of the Defence Signals Directorate´s continuous penetration of Indonesian diplomatic, military and increasingly civilian communications.

A key to prime minister Paul Keating´s diplomatic embrace of president Suharto was his direct knowledge of Suharto´s thinking on regional diplomacy and relations with Australia.

Indeed, Keating was able to consolidate his amicable relationship with the dictator by sharing with him what Australian intelligence had learnt about the Malaysian prime minister Mahathir Mohamad. (ASIS had apparently successfully bugged the Malaysian cabinet room.)

It is now clear that the Defence Signals Directorate has more recently provided Australian intelligence analysts and policy makers with an intimate picture of Yudhoyono´s political and personal relationships.

These intercept operations, part of a wider “Five Eyes” program codenamed “STATEROOM” appear to be conducted from a secret facility located at Australia´s embassy in Indonesia´s capital.

These intelligence operations have reportedly contributed to the collection of information relating to terrorist threats, but, as one former Australian intelligence officer recently told Fairfax Media, “the main focus is political, diplomatic and economic intelligence".

"The huge growth of mobile phone networks has been a great boon and Jakarta´s political elite are a loquacious bunch. Even when they think their own intelligence services are listening, they just keep talking," he said.

The latest revelations will cause further diplomatic embarrassment, but Australia isn´t going to stop spying.

TERKAIT - RELATED