PP Ekosistem Gambut No 57/2016 Ditunggangi Kepentingan Asing?
Stakeholders Urged Indonesian Govt to Revise Regulations of Peatlands

Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Rabu, 14 Desember 2016
Kiri ke kanan: Sekjen HITI, Husnain; pakar lahan gambut, Dr Basuki Sumawinata dan Dr Suwardi; Ketua Umum HGI, Supiandi Subiham; Ketua Peragi, Dr Mastur dan Baran Wirawan (Foto: B2B/Gusmiati Waris & Data: Litbang Kementan)

Bogor, Jawa Barat (B2B) - Negara-negara maju berupaya melemahkan komoditas ekspor pertanian Indonesia, karena dinilai mengancam kepentingan ekonomi mereka di pasar global melalui protes dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lobi hingga campur tangan asing pada penyusunan regulasi seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 57/2016 juncto PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Hal itu mengemuka pada Workshop Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut di Bogor pada Selasa (13/12) dengan pembicara utama Ketua Umum Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Subiham; Ketua Bidang Kajian Kebijakan Pertanian Agronomi, Baran Wirawan; dan Sekretaris Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Husnain.

"Terbitnya PP Nomor 57 tahun 2016 diduga kuat bertujuan menjatuhkan bisnis kelapa sawit di Indonesia yang berpotensi mengancam kelangsungan hutan tanaman industri atau HTI dan perkebunan kelapa sawit," kata Supiandi Subiham kepada pers.

PP tersebut merupakan produk hukum turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009 yang berpotensi mengancam dua bisnis nonmigas utama penghasil devisa bagi Indonesia dari ekspor tanaman akasia dan kelapa sawit.

Dia mengingatkan regulasi tersebut kontraproduktif, setelah menetapkan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologi gambut dan masalah fungsi lindung apabila ketebalan mencapai tiga meter.

"Regulasi tersebut juga tendensius karena menetapkan bahwa muka air gambut minimal 40 sentimeter, dan apabila lebih dari batas minimal tersebut maka kawasan lahan gambut akan dinyatakan rusak sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya," kata Supiandi.

Sebagaimana diketahui, luas lahan gambut di Indonesia mencapai 14,9 juta hektar dan luas yang ditanami kelapa sawit hampir satu juta hektar dan HTI lebih dari dua juta hektar, dan menurut Supiandi, apabila PP tersebut diterapkan maka HTI tinggal cerita dan hampir 50% luas lahan kelapa sawit harus dikembalikan untuk kepentingan konservasi.

"Namun hal itu tidaklah mudah dan berisiko terjadinya revolusi sosial, karena HTI dan kelapa sawit menghidupi jutaan orang yang mencari nafkah sebagai petani dan buruh," katanya lagi.

Naskah Akademik
Ketua Bidang Kajian Kebijakan Pertanian Agronomi Baran Wirawan mengingatkan bahwa kelapa sawit berkontribusi terhadap pendapatan devisa bagi negara hingga Rp200 triliun, dan hasil ekspornya menjadi penyeimbang terhadap surplus neraca perdagangan dari nonmigas.

"Selain menyumbang devisa, kelapa sawit merupakan bentuk konkrit dari kedaulatan ekonomi Indonesia, dan pemerintah seharusnya segera melakukan revisi PP Nomor 57 tahun 2016 sehingga tidak kontraproduktif dengan kepentingan ekonomi negara dan rakyat," kata Baran.

Sementara Sekjen HITI, Husnain mendesak Pemerintah RI untuk melakukan pembahasan berdasarkan pendekatan ilmu pengetahuan terhadap naskah akademik dan bukan hanya berkutat pada kepentingan lingkungan hidup.

Supiandi menambahkan, pihak asing khususnya negara-negara maju tidak senang pada keunggulan ekspor kelapa sawit dan akasia Indonesia di pasar global, merujuk pada produktivitas lahan kelapa sawit yang mampu menghasilkan minyak sawit hingga empat ton per hektar, sementara negara lain hanya 0,5 ton per hektar.

"Begitu pula dengan tanaman akasia setelah ditanam lima tahun dapat menghasilkan 120 ton per hektar di Indonesia yang beriklim tropis, sementara di kawasan subtropis harus menunggu panen 25 tahun dan hasilnya jauh di bawah Indonesia," katanya lagi.


Bogor, West Java (B2B) - Developed countries attempt to weaken the agricultural export commodities from Indonesia through protests from non-governmental organizations (NGOs) and lobby as well as foreign interference in the various regulations such as the Indonesian Government Regulation or the PP Number 57/2016 in conjunction with the PP Number 71/2014 on the Protection and Management of Peatland Ecosystems.

It was said by the Chairman of Indonesia Peatlands Association of HGI, Supiandi Subiham; Chairman of Indonesia Agronomy Policy Studies, Baran Wirawan; and Secretary General of Indonesian soil science association, Husnain in the workshop about The Protection and Management of Peatland Ecosystems here on Tuesday (12.13.16).

"The issuance of the PP Number 57/2016 allegedly aimed to weaken the palm oil business and industrial forest in Indonesia," Mr Subiham told the press.

The PP is a legal product of Environmental Protection and Management Law Number 32/2009 which potentially threaten contributors of foreign exchange for Indonesia from the export of non-oil sector of acacia and palm oil.

He reminded the regulation is counterproductive, having established protected areas covering 30% of all peat hydrology, and issue various protection functions if the thickness reach three meters.

"The regulation is also biased, because it determined that the water level of peatlands at least 40 centimeters, and beyond a minimum limit means damaged so it can be designated as a forbidden area for cultivation activities," Mr Subiham said.

As is known, the total peatland in Indonesia reached 14.9 million hectares palm oil land area of nearly one million hectares, and two million hectares of industrial forests, and according to him, if the PP is applied will be highly detrimental to forest plantation and nearly 50 % of palm oil land should be returned for the conservation.

"But it´s not easy and risky because it would trigger a social revolution, because become a livelihood millions of people who work as farmers and laborers," he said again.

Academic Paper
Chairman of Indonesia Agronomy Policy Studies, Baran Wirawan said that palm oil contributes to foreign exchange earnings for the country to 200 trillion and export earnings is important for the trade balance surplus of the non-oil sector.

"In addition to foreign exchange, palm oil is the concrete proof of economic sovereignty, and government should immediately revise of the PP Number 57/2016 so it is not counterproductive to the economic interests of the state and people," Mr Wirawan said.

While the Secretary General of HITI, Husnain urged Indonesian Government for the conduct a discussion based approach to science academic paper, and not just focus on the interest of environment.

Subiham added, foreigners especially the developed countries are not happy about the export of palm oil and acacia from Indonesia in the global market, refers to productivity of of palm oil land able to produce four tonnes crude palm oil per hectare, while other countries only 0.5 tons per hectare.

"Similarly, the acacia plant in Indonesia, five years after planting to produce 120 tons per hectare in the area of tropical climate, while in subtropical crops have to wait 25 years, and the production yield per hectare below Indonesia," he said again.

TERKAIT - RELATED